Pengertian Pragmatik

Pengertian Pragmatik
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi (Leech, 1993: 1). Leech (1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).
Pragmatik sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling tidak dapat diedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, (2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian pertama masih dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa atau disebut ‘fungsi komunikatif’ (Purwo, 1990:2).
Pragmatik ialah berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993: 177). Menurut Levinson (1983: 9), ilmu pragmatik didefinisikan sebagai berikut:
(1) “Pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa”. Di sini, “pengertian/pemahaman bahasa” menghunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaiannya.
(2) “Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahsa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu”.
(Nababan, 1987: 2)

Pragmatik juga diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 1993: 177). Menurut Verhaar (1996: 14), pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.
Purwo (1990: 16) mendefinisikan pragmatik sebagai telaah mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terikat konteks. Sedangkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa komunikasi (Purwo, 1990: 31).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan tentang batasan pragmatik. Pragmatik adalah suatu telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat atau menelaah makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran.

Fenomena Pragmatik
Kancah yang dijelajahi pragmatik ada empat: (a) deiksis, (b) praanggapan (presupposition), (c) tindak ujaran (speech acts), dan (d) implikatur percakapan (conversational implicature) (Purwo, 1990: 17).
Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen yang berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Deiksis dapat juga diartikan sebagai suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan (Cahyono, 1995: 217).
Praanggapan (presupposition) adalah apa yang diasumsikan oleh penutur sebagai hal yang benar atau hal yang diketahui pendengar (Cahyono, 1995: 219). Menurut Nababan (1987: 46), praanggapan adalah dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar/penerima bahasa itu, dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat, dsb) yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Nababan memberikan contoh penggunaan presuposisi sebagai berikut:
(1) Wanita Indonesia membeli burung.
terdapat praanggapan bahwa:
(3.1) Ada seorang wanita Indonesia, dan
(3.2) Ada burung.
Jika kedua praanggapan itu diterima, maka kalimat (3) mempunyai makna atau dapat dimengerti pendengar/pembaca.
Tindak ujaran (speech acts) ialah pengucapan suatu kalimat di mana si pembicara tidak semata-mata menanyakan atau meminta jawaban tertentu, tetapi ia juga menindakkan sesuatu (Purwo, 1990: 19). Searle di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language (1969: 23-24) dalam Wijana (1996: 17-22), mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni:
1. Tindak lokusi, yaitu tindak tutur untuk menyatakan sesuatu.
Sebagai contoh:
(4) Jari tangan jumlahnya lima.
Kalimat (4) di atas, diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya.
2. Tindak ilokusi, yaitu sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Contoh:
(5) Saya tidak dapat datang.
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa, bila kalimat itu diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf.
3. Tindak perlokusi, yaitu sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Sebagai contoh:
(6) Kunjungilah restoran Oshin!
Tersedia bermacam-macam masakan Jepang, Cina, dan Eropa.
Tempat ideal untuk bersantai bersama keluarga, handai taulan, dan rekan sekerja Anda. Dijamin halal.

Dalam wacana di atas, ditemukan penggunaan tindak perlokusi. Ini dapat diketahui karena penutur -pengelola restoran- selain mengatakan mengelola masakan ala Jepang, Cina dan Eropa juga meyakinkan pendengar/pembaca bahwa masakannya benar-benar halal.
Implikatur percakapan (conversational implicature) merupakan konsep yang cukup penting dalam pragmatik karena empat hal (Levinson, 1983: 97). Pertama, konsep implikatur memungkinkan penjelasan fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik. Kedua, konsep implikatur memberikan penjelasan tentang makna berbeda dengan yang dikatakan secara lahiriah. Ketiga, konsep implikatur dapat menyederhanakan struktur dan isi deskripsi semantik. Keempat, konsep implikatur dapat menjelaskan beberapa fakta bahasa secara tepat. Sebagai contoh:
(7) A : Jam berapa sekarang?
B : Korannya sudah datang.

Tampaknya kalimat (7A) dan (7B) tidak berkaitan secara konvensional. Namun pembicara kedua sudah mengetahui bahwa jawaban yang disampaikannya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan pembicara pertama, sebab dia sudah mengetahui jam berapa koran biasa diantarkan.
Dari keempat bidang kajian pragmatik tersebut pada akhirnya dapat digunakan untuk memahami makna sesuai dengan konteks yang terjadi. dalam penelitian ini. Kajian pragmatik tersebut digunakan untuk memahami makna dan fungsi deiksis pronomina persona.

Deiksis
1. Pengertian Deiksis
Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘menunjuk’ atau ‘menunjukkan’. Dalam KBBI (1991: 217), deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya.
Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43). Menurut Bambang Kaswanti Purwo (1984: 1) sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik terdapat pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan semacam itu oleh Nababan (1987: 40) disebut deiksis (Setiawan, 1997: 6).
Pengertian deiksis dibedakan dengan pengertian anafora. Deiksis dapat diartikan sebagai luar tuturan, dimana yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu kata yang berada di belakang maupun yang merujuk kata yang berada di depan (Lyons, 1977: 638 via Setiawan, 1997: 6).
Berdasarkan beberapa pendapat, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora.
Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiktis. Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini, sekarang baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah penutur.

2. Jenis Deiksis
Deiksis ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial (Nababan, 1987: 40).

a. Deiksis Persona
Istilah persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa (Lyons, 1977: 638 via Djajasudarma, 1993: 44).
Deiksis orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya saya, kita, dan kami. Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan mereka.
Kata ganti persona pertama dan kedua rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini berarti bahwa rujukan pertama dan kedua pada situasi pembicaraan (Purwo, 1984: 106). Oleh karenanya, untuk mengetahui siapa pembicara dan lawan bicara kita harus mengetahui situasi waktu tuturan itu dituturkan. Apabila persona pertama dan kedua akan dijadikan endofora, maka kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat langsung menjadi kalimat tidak langsung. (Setiawan, 1997: 8).
Bentuk pronomina persona pertama jamak bersifat eksofora. Hal ini dikarenakan bentuk tersebut, baik yang berupa bentuk kita maupun bentuk kami masih mengandung bentuk persona pertama tunggal dan persona kedua tunggal.
Berbeda dengan kata ganti persona pertama dan kedua, kata ganti persona ketiga, baik tunggal, seperti bentuk dia, ia, -nya maupun bentuk jamak, seperti bentuk sekalian dan kalian, dapat bersifat endofora dan eksofora. Oleh karena bersifat endofora, maka dapat berwujud anafora dan katafora (Setiawan, 1997: 9).
Deiksis persona merupakan deiksis asli, sedangkan deiksis waktu dan deiksis tempat adalah deiksis jabaran. Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984: 21) bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu.

b. Deiksis Tempat
Deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa Indonesia- membedakan antara “yang dekat kepada pembicara” (di sini) dan “yang bukan dekat kepada pembicara” (termasuk yang dekat kepada pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41). Sebagai contoh penggunaan deiksis tempat.
(8) a. Duduklah kamu di sini.
b. Di sini dijual gas Elpiji.
Frasa di sini pada kalimat (8a) mengacu ke tempat yang sangat sempit, yakni sebuah kursi atau sofa. Pada kalimat (8b), acuannya lebih luas, yakni suatu toko atau tempat penjualan yang lain.
c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Dalam banyak bahasa, deiksis (rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense) (Nababan, 1987: 41). Contoh pemakaian deiksis waktu dalam bahasa Inggris.
(9) a. I bought a book.
b. I am buying a book.
Meskipun tanpa keterangan waktu, dalam kalimat (9a) dan (9b), penggunaan deiksis waktu sudah jelas. Namun apabila diperlukan pembedaan/ketegasan yang lebih terperinci, dapat ditambahkan sesuatu kata/frasa keterangan waktu; umpamanya, yesterday, last year, now, dan sebagainya. Contoh dalam bahasa Inggris:
(10) a. I bought the book yesterday.
b. I bought the book 2 years ago.

d. Deiksis Wacana
Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, dsb. Sebagai contoh.
(11) a. Paman datang dari desa kemarin dengan membawa hasil palawijanya.
b. Karena aromanya yang khas, mangga itu banyak dibeli.

Dari kedua contoh di atas dapat kita ketahui bahwa -nya pada contoh (11a) mengacu ke paman yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan pada contoh (11b) mengacu ke mangga yang disebut kemudian.

e. Deiksis Sosial
Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi kata-kata tertentu (Nababan, 1987: 42). Dalam bahasa Jawa umpamanya, memakai kata nedo dan kata dahar (makan), menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan sosial antara pembicara, pendengar dan/atau orang yang dibicarakan/bersangkutan. Secara tradisional perbedaan bahasa (atau variasi bahasa) seperti itu disebut “tingkatan bahasa”, dalam bahasa Jawa, ngoko dan kromo dalam sistem pembagian dua, atau ngoko, madyo dan kromo kalau sistem bahasa itu dibagi tiga, dan ngoko, madyo, kromo dan kromo inggil kalau sistemnya dibagi empat. Aspek berbahasa seperti ini disebut “kesopanan berbahasa”, “unda-usuk”, atau ”etiket berbahasa” (Geertz, 1960 via Nababan, 1987: 42-43).

C. Bentuk Pronomina Persona
Jika ditinjau dari segi artinya, pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu ke nomina lain. Jika dilihat dari segi fungsinya, dapat dikatakan bahwa pronomina menduduki posisi yang umumnya diduduki oleh nomina, seperti subjek, objek, dan -dalam macam kalimat tertentu- juga predikat. Ciri lain yang dimiliki pronomina ialah acuannya dapat berpindah-pindah karena bergantung pada siapa yang menjadi pembicara/penulis, yang menjadi pendengar/pembaca, atau siapa/apa yang dibicarakan (Moeliono, 1997: 170).
Dalam bahasa Inggris dikenal tiga bentuk kata ganti persona, yaitu persona pertama, persona kedua dan persona ketiga (Lyons, 1997: 276 via Setiawan, 1997: 9). Bahasa Indonesia juga mengenal tiga bentuk persona seperti dalam bahasa Inggris (P&P, 1988: 172 via Setiawan, 1997: 9).
Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu ke orang. Pronomina dapat mengacu pada diri sendiri (persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (persona ketiga) (Moeliono, 1997: 172). Berikut ini adalah pronomina persona yang disajikan dalam tabel.

Tabel 1: Pronomina Persona
Persona Makna
Tunggal Jamak
Netral Eksklusif Inklusif
Pertama saya, aku, daku, ku-, -ku kami kita
Kedua engkau, kamu, Anda, dikau, kau-, -mu kalian, kamu (sekalian), Anda (sekalian)
Ketiga ia, dia, beliau, -nya mereka, -nya


a) Pronomina Persona Pertama
Dalam Bahasa Indonesia, pronomina persona pertama tunggal adalah saya, aku, dan daku. Bentuk saya, biasanya digunakan dalam tulisan atau ujaran yang resmi. Bentuk saya, dapat juga dipakai untuk menyatakan hubungan pemilikan dan diletakkan di belakang nomina yang dimilikinya, misalnya: rumah saya, paman saya. Pronomina persona pertama aku, lebih banyak digunakan dalam situasi non formal dan lebih banyak menunjukkan keakraban antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca. Pronomina persona aku mempunyai variasi bentuk, yaitu -ku dan ku-. Sedangkan untuk pronomina persona pertama daku, pada umumnya digunakan dalam karya sastra.
Selain pronomina persona pertama tunggal, bahasa Indonesia mengenal pronomina persona pertama jamak, yakni kami dan kita. Kami bersifat eksklusif; artinya, pronomina itu mencakupi pembicara/penulis dan orang lain dipihaknya, tetapi tidak mencakupi orang lain dipihak pendengar/pembacanya. Sebaliknya, kita bersifat inklusif; artinya, pronomina itu mencakupi tidak saja pembicara/penulis, tetapi juga pendengar/pembaca, dan mungkin pula pihak lain.

b) Pronomina Persona Kedua
Pronomina persona kedua tunggal mempunyai beberapa wujud, yakni engkau, kamu Anda, dikau, kau- dan -mu. Pronomina persona kedua engkau, kamu, dan -mu, dapat dipakai oleh orang tua terhadap orang muda yang telah dikenal dengan baik dan lama; orang yang status sosialnya lebih tinggi; orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang umur atau status sosial.
Pronomina persona kedua Anda dimaksudkan untuk menetralkan hubungan. Selain itu, pronomina Anda juga digunakan dalam hubungan yang tak pribadi, sehingga Anda tidak diarahkan pada satu orang khusus; dalam hubungan bersemuka, tetapi pembicara tidak ingin bersikap terlalu formal ataupun terlalu akrab.
Pronomina persona kedua juga mempunyai bentuk jamak, yaitu bentuk kalian dan bentuk pronomina persona kedua ditambah sekalian: Anda sekalian, kamu sekalian. Pronomina persona kedua yang memiliki varisi bentuk hanyalah engkau dan kamu. Bentuk terikat itu masing-masing adalah kau- dan -mu.

c) Pronomina Persona Ketiga
Pronomina persona ketiga tunggal terdiri atas ia, dia, -nya dan beliau. Dalam posisi sebagai subjek, atau di depan verba, ia dan dia sama-sama dapat dipakai. Akan tetapi, jika berfungsi sebagai objek, atau terletak di sebelah kanan dari yang diterangkan, hanya bentuk dia dan -nya yang dapat muncul. Pronomina persona ketiga tunggal beliau digunakan untuk menyatakan rasa hormat, yakni dipakai oleh orang yang lebih muda atau berstatus sosial lebih rendah daripada orang yang dibicarakan. Dari keempat pronomina tersebut, hanya dia, -nya dan beliau yang dapat digunakan untuk menyatakan milik.
Pronomina persona ketiga jamak adalah mereka. Pada umumnya mereka hanya dipakai untuk insan. Benda atau konsep yang jamak dinyatakan dengan cara yang lain; misalnya dengan mengulang nomina tersebut atau dengan mengubah sintaksisnya.
Akan tetapi, pada cerita fiksi atau narasi lain yang menggunakan gaya fiksi, kata mereka kadang-kadang juga dipakai untuk mengacu pada binatang atau benda yang dianggap bernyawa. Mereka tidak mempunyai variasi bentuk sehingga dalam posisi mana pun hanya bentuk itulah yang dipakai, misalnya usul mereka, rumah mereka.

D. Makna Deiksis Pronomina Persona
Menurut Kridalaksana (2001: 132), makna adalah maksud pembicaran; pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia; hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya; cara menggunakan lambang-lambang bahasa.
Ferdinand de Saussure membagi setiap tanda linguistik menjadi dua, yaitu: (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie) sebenarnya adalah konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi, sedangkan yang mengartikan (signifiant) adalah bunyi-bunyi yang terentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual) (Chaer, 1995: 29).
Hubungan antara tanda linguistik (bersama unsur bunyi dan makna) dengan unsur referennya, dapat dibagankan sebagai berikut.


(b) konsep/makna


(a) kata/leksem (c) sesuatu yang dirujuk (referen)
Hubungan antara (a) dan (c) bersifat tidak langsung, sebab (a) adalah masalah dalam-bahasa dan (c) masalah luar-bahasa yang hubungannya biasanya bersifat arbitrer. Sedangkan hubungan (a) dan (b) serta hubungan (b) dan (c) bersifat langsung. Titik (a) dan (b) sama-sama berada di dalam-bahasa; hubungan (b) dan (c) bahwa (c) adalah acuan dari (b) tersebut.
Ada teori yang menyatakan bahwa makna itu tidak lain daripada sesuatu atau referen yang diacu oleh kata atau leksem itu. Hanya perlu dipahami bahwa tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret di dunia nyata. Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata makna kata atau leksem itu seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga acuannya. Oleh karena itu, banyak pakar yang mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya, dan makna kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya (Chaer, 1994: 288).
Bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda, makna bahasa dapat terdiri dari bermacam-macam jenisnya. Pateda (1986) melalui Chaer (1995: 59) mengemukakan adanya jenis-jenis makna, yaitu makna afektif, makna denotatif, makna deskriptif, makna ekatensi, makna emotif, makna gereflekter, makna idesional, makna intensi, makna gramatikal, makna kiasan, makna kognitif, makna kolokasi, makna konotatif, makna konseptual, makna konstruksi, makna leksikal, makna luas, makna piktorial, makna proposisional, makna pusat, makna referensial, makna sempit, makna stilistika, dan makna tematis. Sedangkan Leech (1976) membedakan adanya tujuh tipe makna, yaitu (1) makna konseptual, (2) makna konotatif, (3) makna stilistika, (4) makna afektif, (5) makna reflektif, (6) makna kolokatif, dan (7) makna tematik (Chaer, 1995: 59).
Chaer (1994) membagi jenis makna menjadi tigabelas, yaitu makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual, makna referensial, makna non-referensial, makna denotatif, makna konotatif, makna konseptual, makna asosiatif, makna kata, makna istilah, makna idiom, dan makna pribahasa.
Menurut Djajasudarma (1993: 6), makna terdiri atas beberapa jenis, yaitu: makna sempit, makna luas, makna kognitif, makna konotatif/emotif, makna gramatikal, makna leksikal, makna konstruksi, makna referensial, makna majas (kiasan), makna inti, makna idesional, makna proposisi, makna piktorial.
Makna sempit (narrowed meaning) adalah makna yang lebih sempit dari keseluruhan ujaran (Djajasudarma, 1993: 7). Perhatikan contoh.
(12) ”Apakah saudara tidak mau mengakuinya?” kata Pak Polisi.
(Konteks: seorang pencuri yang sedang diinterogasi oleh polisi atas tuduhan pencurian).
(13) Saudara saya yang dari Bandung akan datang hari ini.
(Konteks: penutur memiliki saudara sepupu yang tinggal di Bandung, dan akan datang ke rumah penutur).

Kata saudara pada kalimat (12) dengan (13) mengalami perubahan makna, yaitu maknanya akan menyempit (memiliki makna sempit). Pada kalimat (12), kata saudara bermakna ‘panggilan pada seseorang’, sedangkan pada kalimat (13) saudara bermakna sempit ‘kerabat’.

Makna luas (widened meaning atau extended meaning) adalah makna yang terkandung pada sebuah kata lebih luas dari yang diperkirakan (Djajasudarma, 1993: 8). Berbeda dengan kata-kata yang bermakna sempit, kata-kata yang bermakna luas digunakan untuk mengungkapkan gagasan atau ide yang umum. Sebagai contoh.
(14) “Bapak sedang sakit, sekarang,” kata Ibu.
(Konteks: seorang Ibu yang memberitahuan keadaan suaminya kepada anaknya).
(15) “Bapak Kepala Sekolah sedang mengadakan rapat dengan para guru,” kata salah seorang staf karyawan.
(Konteks: diberitahukan bahwa pimpinan sekolah sedang mengadakan rapat dengan para guru sekolah tersebut).
Penggunaan kata Bapak pada kalimat (14) dengan (15) mengalami perubahan makna, dari makna sempit ke makna meluas. Pada kalimat (14) kata Bapak bermakna sempit ‘orang tua kandung’, sedangkan pada kalimat (15) kata Bapak bermakna luas ‘panggilan untuk laki-laki dewasa’.
Makna kognitif disebut juga makna deskriptif atau denotatif adalah makna yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan (Djajasudarma, 1993: 9). Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem (Chaer, 1994: 292). Makna denotatif juga dapat diartikan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya (Chaer, 1995: 66). Sebagai contoh.
(16) Dian adalah salah satu mahasiswa jurusan bahasa Indonesia.
Pada kalimat (16) di atas, makna denotatif nampak pada penggunaan kata Dian, yang mengacu pada seseorang yang mempunyai nama Dian.
Makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap apa yang diucapkan atau apa yang didengar. Makna konotatif adalah makna yang muncul dari makna kognitif (lewat makna kognitif), ke dalam makna kognitif tersebut ditambahkan komponen makna lain (Djajasudarma, 1993: 9).
Makna referensial adalah makna sebuah kata atau leksem yang mempunyai referen atau acuannya. Menurut Djajasudarma (1993: 11), makna referensial adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referen (acuan). Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata yang disebut kata-kata deiktik yang acuannya tidak menetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu kepada maujud yang lain (Chaer, 1994: 291). Sebagai contoh.
(17) A: “Kemarin saya bertemu dengan Ibu Ani,” kata Dian kepada Dani.
B: “Benarkah?” sahut Dani. “Saya juga bertemu beliau kemarin.”
Dari contoh di atas, jelas bahwa, pada kalimat (17A) kata saya mengacu pada Dian, sedangkan pada kalimat (17B) kata saya mengacu pada Dani.
Berbeda dengan makna referensial, makna non-referensial merupakan makna sebuah kata yang tidak mempunyai acuan atau referen. Misalnya kata-kata seperti dan, atau, dan karena.
Makna konstruksi (construction meaning) adalah makna yang terdapat di dalam konstruksi, misalnya, makna milik yang diungkapkan dengan urutan kata di dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, makna milik dapat diungkapkan melalui enklitik sebagai akhiran yang menunjukkan kepunyaan (Djajasudarma, 1993: 12). Perhatikan contoh berikut.
(18) Rumahnya jauh dari sini.
Pada kalimat (18) di atas, enklitik -nya digunakan untuk menyatakan milik atau kepunyaan, dalam hal ini adalah rumah.
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apa pun (Chaer, 1994: 289). Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Atau juga dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer 1995: 60). Sebagai contoh.
(19) a. Tikus itu mati diterkam kucing.
b. Yang menjadi tikus di gudang kami ternyata berkepala hitam.
Kata tikus pada kalimat (19a) merupakan makna leksikal karena jelas merujuk kepada binatang tikus, sebangsa bintang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Namun, dalam kalimat (19b) kata tikus bukanlah dalam makna leksikal karena tidak merujuk kepada binatang tikus melainkan kepada seorang manusia, yang pebuatannya memang mirip dengan perbuatan tikus.
Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 1995: 62). Sebagai contoh.
(20) a. Adik menendang bola.
b. Adik menulis surat.
Dari contoh di atas, dapat kita ketahui bahwa kedua kalimat tersebut dapat melahirkan makna gramatikal. Kalimat (20a) menunjukkan kata adik bermakna ‘pelaku’, menendang bermakna ‘aktif’, dan bola bermakna ‘sasaran’. Kalimat (20b) menunjukkan kata adik bermakna ‘pelaku’, menulis bermakna ‘aktif’, dan surat bermakna ‘hasil’.
Makna pusat adalah makna yang dimiliki setiap kata yang menjadi inti ujaran. Setiap ujaran (klausa, kalimat, wacana) memiliki makna yang menjadi pusat (inti) pembicaraan (Djajasudarma, 1993: 15). Perhatikan contoh berikut.
(21) Ali adalah seorang laki-laki.
Pada contoh kalimat (21) di atas, yang menjadi pusat (inti) pembicaraan adalah Ali sedangkan untuk adalah seorang laki-laki merupakan bagian untuk menerangkan kata Ali.
Makna piktorial adalah makna suatu kata yang berhubungan dengan perasaan pendengar atau pembaca. Perasaan muncul segera setelah mendengar atau membaca suatu ekspresi yang menjijikan, atau perasaan benci. Perasaan dapat pula berupa perasaan gembira di samping perasaan yang disebutkan di atas (Djajasudarma, 1993: 16). Sebagai contoh.
(22) a. Kenapa kau sebut nama dia.
b. Ia tinggal di gang yang becek itu.
Dari kedua contoh di atas, dapat kita lihat bahwa pada kalimat (22a) dan (22b) memunculkan makna piktorial. Kalimat (22a) mengungkapkan perasaan benci penutur terhadap seseorang, yang diucapkan oleh lawan tuturnya. Pada kalimat (22b) dapat dilihat adanya makna piktorial dengan perasaan jijik.
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks (Chaer, 1994: 290). Sebagai contoh, dapat kita lihat penggunaan kata kepala pada kalimat-kalimat berikut.
(23) a. Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
b. Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
c. Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.
Dari ketiga kalimat di atas, penggunaan kata kepala mempunyai makna konteks yang berbeda. Pada kalimat (23a), kata kepala bermakna ‘bagian anggota tubuh’; kalimat (23b), kata kepala bermakna ‘pimpinan’; dan pada kalimat (23c), kata kepala bermakna ‘bagian atas surat’.
Menurut Alieva, dkk dalam bukunya yang berjudul “Bahasa Indonesia, Deskripsi dan Teori”, makna terdiri dari makna timbal balik dan makna kebersamaan. Makna timbal balik dan makna kebersamaan dibentuk dengan memakai verba, baik transitif maupun intransitif, sebagai sebutan kalimat. Pada kedua makna ini, pokok kalimatnya dapat menyatakan subjek (S) jamak maupun subjek (S) tunggal. Sebagai subjek (S) jamak, pokok kalimatnya dapat terdiri dari sekelompok orang atau benda yang ikut serta dalam tindakan. Sebagai contoh.
(24) Saudara berhak membunuh saya, kita bermusuhan.
(25) Saya dan Dar berpandang-pandangan, sesudah perempuan itu masuk ke dalam.
(26) Apalagi mereka berdua tak asing-mengasing lagi.
Untuk ketiga contoh di atas, dapat dilihat bahwa pokok kalimatnya menyatakan subjek (S) jamak. Sedangkan sebagai subjek (S) tunggal, pokok kalimatnya merupakan salah satu dari subjek (S) jamak yang lebih penting bagi kalimat ini.
Dari beberapa teori di atas, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Djajsudarma. Hal itu dikarenakan bahwa dari beberapa makna yang dikemukakan olehnya, ada makna yang sesuai dengan sampel data yang ditemukan. Namun, tidak seluruh jenis makna yang dikemukakannya sesuai dengan sampel data yang ada. Untuk itu, peneliti juga menggunakan teori lain tentang makna, yaitu teori dari Alieva, dkk, yang menyebutkan tentang makna kebersamaan. Selain itu, ada sebagian sampel data yang tidak sesuai dengan kedua teori tersebut, maka peneliti memberikan istilah sendiri untuk sampel data tersebut sebagai jenis makna.

E. Fungsi Deiksis Pronomina Persona
Dalam tataran tata bahasa atau gramatika, diketengahkan adanya istilah semantik sintaktikal, yang mana apabila sasaran penyelidikannya tertumpu pada hal-hal yang berkaitan dengan sintaksis. Ini dilakukan mengingat bahwa dalam sintaksis itu ada pula tataran bawahan yang disebut fungsi gramatikal, kategori gramatikal, dan peran gramatikal. Hal ini dapat dilihat pada bagan berikut.

Posted in |

0 komentar: