Info BARU

Mulai bulan Maret 2012...Blog LAC akan menayangkan jurnal Diglossia yang dikelola oleh jurnal Fakultas Bahasa dan SastraUNIPDU. Terimakasih

Posted in | 0 komentar

penerjemahan istilah budaya

Penerjemahan istilah budaya sering menjadi masalah apabila dalam bahasa sasaran (BSa) tidak ditemukan konsep budaya yang sama sehingga tidak ditemukannya padanan yang tepat. Dalam Venuti (2000:427), seandainya tidak ditemukan padanan konsep budaya yang tepat, istilah budaya tersebut tetap ditulis apa adanya. Namun perlu disertai catatan tambahan (footnote) dan daftar kata yang mengacu pada bagian teks yang memiliki konteks budaya tersebut. Hal tersebut dilakukan  untuk menerangkan konsep budaya yang dimaksud sehingga pembaca bisa memahami hasil terjemahannya. Sebaliknya, apabila konsep budaya yang diterjemahkan ditemukan pada BSa, tentunya penerjemahannya akan lebih mudah menemukan padanan dengan tepat tanpa adanya footnote ataupun daftar kata dari istilah budaya tersebut.
Berikut temuan istilah budaya dalam teks.
1. Teknik peminjaman alamiah
No
Istilah Budaya
Teknik Penerjemahan
BSu
BSa
1
culinary
kuliner
Peminjaman alamiah
2
satay
sate
Peminjaman alamiah
Teknik peminjaman alamiah dilakukan dengan mempertahankan BSu dalam teks terjemahan (BSa). Namun, peminjaman disertai penyesuaian lafal pada BSa. Hasil temuan diatas, kedua istilah tersebut dikenal dalam BSa, hanya saja dengan pelafalan yang disesuaiakan dengan BSa.

2. Teknik peminjaman murni
No
Istilah Budaya
Teknik Penerjemahan
Bsu
Bsa
1
batik
batik
Peminjaman murni
2
solo batik carnival
solo batik carnival
Peminjaman murni
3
warung
warung
Peminjaman murni
4
hik
hik
Peminjaman murni
5
jadah
jadah
Peminjaman murni
6
melting pot
melting pot
Peminjaman murni

Teknik peminjaman murni dilakukan dengan mempertahankan BSu sama persis pada teks BSa. Mengingat istilah yang diterjemahkan adalah istilah budaya, ada 2 kemungkinan yaitu (1) konsep budaya dalam BSa telah dikenal dengan baik atau ditemukan dalam teks BSu, (2) konsep budaya pada BSa tidak dikenal dalam BSu, sehingga diperlukan keterangan tambahan.
Untuk kasus no.1 – 5, konsep budaya telah dikenal atau bahkan berasal dari BSu sehingga cukup diterjemahkan tetap atau tidak mengalami perubahan. Sementara, untuk kasus no.6, istilah melting pot tidak dikenal dalam BSa, sehingga diterjemahkan apa adanya, dan di dalam teks telah dijelaskan secara detail pada kalimat selanjutnya ditandai dengan apositif ( -- ).
Warung HIK is something of a melting pot in fact – a place for people to chat, speak without censorship and kill time with help of a glass of hot ginger tea and snack such as fried peanuts, various satay or the grilled sticky rice cakes known as jadah.
Adanya penjelasan tentang melting pot di kalimat selanjutnya dan dirasa dapat dipahami oleh pembaca, maka cukup diterjemahkan dengan apa adanya atau tidak diterjemahkan.
3. Teknik reduksi
No
Istilah Budaya
Teknik Penerjemahan
BSu
BSa
1
the grilled sticky rice cakes known as jadah
jadah bakar
reduksi

Pada the grilled sticky rice cakes known as jadah yang diterjemahkan menjadi jadah bakar menggunakan teknik reduksi.  Teknik tersebut dilakukan dengan penghilangan secara parsial tanpa menimbulkan distorsi makna. Frasa the grilled sticky rice cakes dihilangkan karena maknanya dinilai sudah cukup terwakili dengan jadah bakar.
4. Teknik adaptasi
No
Istilah Budaya
Teknik Penerjemahan
BSu
BSa
1
stalls
warung
adaptasi
2
pushcarts
gerobak dorong
adaptasi
3
snack
camilan
adaptasi

Teknik ini dikenal dengan adaptasi budaya. Hal ini dilakukan menggantikan istilah budaya dalam BSu dengan istilah budaya yang lebih akrad dikenal dalam BSa.
-        Stall secara harfiah berarti table or small open shop from which things are sold in the street’ atau stan, kios, took kecil dipinggir jalan. Akan tetapi dalam BSa ada istilah yang kebih familiar yaitu warung. Hal tersebut dilakukan agar mudah dipahami oleh pembaca sasaran.
-        Pushcarts dalam BSu dikenal dengan kereta dorong. Istilah gerobak dorong lebih familiar bagi pembaca teks sasaran.
-        Snack mengacu pada makanan ringan, sedangkan dalam BSa ada istilah yang lebih dikenal yaitu camilan.
5. Teknik penerjemahan harfiah
No
Istilah Budaya
Teknik Penerjemahan
BSu
BSa
1
hot ginger tea
teh jahe panas
harfiah
Dalam contoh temuan ini, penerjemah melakukan teknik harfiah. Teknik ini dilakukan  dengan penyesuaian kaidah bahasa dalam BSa. Hot à panas, gingeràjahe, teaà teh; Dalam BSu modifier diletakkan terlebih dulu, sedangkan dalam BSa head didepan.
Teknik penerjemahan yang digunakan dalam teks ada lima yaitu: peminjaman murni, alamiah, reduksi, adaptasi dan penerjemahan harfiah. Secara keseluruhan, dalam kasus penerjemahan istilah budaya diatas, konsep budaya ditemukan dalam BSa, bahkan beberapa istilah budaya tersebut justru berasal dari BSa.

Posted in | 0 komentar

Yoyo Surjakusumah FENOMENA KASTRASI LINGUISTIK DAN TRANSPOSISI DALAM TEKS TERJEMAHAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBELAJARAN PENERJEMAHAN


Penelitian ini dilakukan untuk meneliti fenomena kastrasi linguistik dan fenomena
transposisi dalam teksterjemahan. Penelitian ini difokuskan untuk mencarijawaban atas
pertanyaan-pertanyaan penelitian berukut. 1). Bagaimana wujud kastrasi linguistik dan
transposisi dalam teks terjemahan? 2). Apa penyebab terjadinya fenomena kastrasi linguistik dan
transposisi? 3). Bagaimana cara pembelajar menerjemahkan teks bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia? 4). Adakah hubungan antara tingkat keterbacaan, berdasarkan rumus Fry dan rumus
Mac Laughlin, dengan fenomena kastrasi linguistik dan trasposisi? 5) Apa implikasinya bagi
pembelajaran penerjemahan?.
Dengan menggunakan pendekatan deskripsi terfokus (focused description) dan teknik
analisis struktur mikro (microsrtuctural) teks sumber, berbahasa Inggris, dan teks terjemahan,
berbahasa Indonesia, dibandingkan untuk menelusuri siasat-siasat penerjemahan yang digunakan
para penerjemah senior dalam upayanya untuk memindahkan amanat teks.
Empat teks terjemahan dipilih berdasarkan asumsi bahwa teks-teks tersebut bisa
dikategorikan sebagai hasil terjemahan yang baik. Dua teks terjemahan, bahkan, dilakukan oleh
dua ahli yang sesuai dengan bidangnya. Dua teks lainnya telah diterbitkan oleh penerbit yang
memiliki citra yang baik dalam bidangnya. Keempat teks (korpus) terjemahan itu seluruhnya
berjumlah 1.398 paragraf. Setiap paragraf teks terjemahan diperbandingkan dengan teks asli
dengan menggunakan analisis struktur mikro yang difokuskan pada dua fenomena, yaitu
fenomena kastrasi linguistik dan fenomena transposisi. Sejumlah paragraf yang diterjemahkan
oleh para pembelajar juga dianalisis untuk mengetahui cara atau siasat penerjemahan yang
mereka gunakan.
Teori yang melandasi penelitian teks terjemahan ini adalah,....the scene of linguistik
castration-which is nothing other then a scene of impossible but unavoidable translation and
normally takes place out of sight – is played on center stage (Jonson, 1985 dalam Gentzler,
1993: 195 dan ...”they resort to shifts precisely because they are attempting to render faithfully
the content of the original despite the differences between the languages” (Popovic, 1970 dalam
Gentzler, 1993:86).
Dalam penelitian ini, kastrasi linguistik dan transposisi digunakan para penerjemah dalam
jumlah yang cukup signifikan. Fenomena kastrasi linguistik terjadi pada tataran kata, frase,
klausa. Sedangkan fenomena transposisi terjadi pada tataran kata. Frasa, klausa dan kalimat.
Akibat dari penggunaan kastrasi linguistik dan transposisi unsur-unsur sintatik tersebut kalimat
terjemahan menjadi lebih baik dan lebih enak dibaca tanpa mengorbankan amanat teks. Kedua
fenomena tersebut adalah perwujudan dari norma bahasa sumber dan bahasa sasaran yang harus
diikuti para penerjemah sebagai pedoman agar teks terjemahannya lebih alami.
Dari temuan ini terbukti kastrasi linguistik dan transposisi merupakan siasat
penerjemahan yang efektif dan efisien untuk mempercepat proses penerjemahan. Penelitian
sejenis dengan jumlah sampel yang lebih besar dan jenis teks yang lain perlu dilakukan untuk
mendukung atau menolaktemuan dari penelitian ini

http://abstrak.digilib.upi.edu/Direktori/DISERTASI/PENDIDIKAN_BAHASA_INDONESIA/Yoyo_Surjakusumah_FENOMENA_KASTRASI_LINGUISTIK_DAN_TRANSPOSISI_DALAM_TEKS_TERJEMAHAN_DAN_IMPLIKASINYA_BAGI_PEM.pdf

Posted in | 0 komentar

IDEOLOGI DALAM PENERJEMAHAN/ IDEOLOGIES DANS LA TRADUCTION


FARIDA AMALIA – Universitas Pendidikan Indonesia
RESUME
La traduction est, par définition, transférer un texte d'une langue dans une autre. Or, derrière ce travail se cachent beaucoup de facteurs dont on doit tenir compte : non seulement des aspects linguistiques, mais aussi culturels, conceptuels pour n'en citer que quelques-uns.
A. Pendahuluam
Penerjemahan adalah kegiatan mengalihkan secara tertulis pesan dari teks suatu bahasa ke dalam teks bahasa lain (Hoed, 2006: 51). Hal ini senada dengan pendapat Moentaha (2006: 13-25) yang menyatakan bahwa penerjemahan adalah proses penggantian teks dalam bahasa sumber (BSu) dengan teks dalam bahasa sasaran (BSa) tanpa mengubah tingkat isi teks. Pengertian tingkat isi ini tidak hanya yang menyangkut arti dasar (material meaning), ide atau konsepsi yang terkandung dalam tingkat isi, melainkan semua informasi yang ada dalam teks BSa, yaitu semua norma-norma bahasa, seperti makna leksikal, makna gramatikal, nuansa stilistis/nuansa ekspresif. Dengan kata lain, penerjemahan merupakan pengkajian leksikon, struktur gramatika, situasi komunikasi, dan kontak budaya antara dua bahasa yang dilakukan lewat analisis untuk menentukan makna.
Definisi-definisi mengenai penerjemahan di atas merujuk pada pentingnya pengungkapan makna atau pesan yang dimaksud dalam wacana asli. Pada penerjemahan, pesan penulis harus tetap dijaga dan dikomunikasikan kepada pembaca terjemahan, isi TSa harus sama dengan TSu sehingga pesan yang dimaksud dalam BSu dapat dipahami dalam pembaca BSa walaupun bentuknya mungkin berbeda. Jadi, sepadan dalam hal ini bukan berarti sama, melainkan mengandung pesan yang sama.
Dari uraian di atas pula, dapat dikemukakan bahwa penerjemahan bukanlah sesuatu yang sederhana, bukan sebatas mengalihbahasakan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dan bukan pula pekerjaan yang bisa dilakukan siapa saja tanpa dipelajari. Seperti yang dinyatakan Luther dalam Simatupang (2000: 3) bahwa “Translation is not everybody’s art”. Menerjemahkan, bagi Luther adalah sebuah seni yang tidak bisa begitu saja dimiliki setiap orang. Hal ini menunjukkan bahwa menerjemahkan bukanlah hal yang mudah. Ia membutuhkan keterampilan yang kompleks. Sebagai sebuah seni, seperti juga seni musik, seni rupa, seni tari, menerjemahkan bersifat intuitif oleh karenanya tidak mungkin berkembang tanpa pengetahuan, latihan dan pengalaman.
Sekaitan dengan pendapat di atas, Hidayat (2002:35) mengemukakan bahwa kemahiran menerjemahkan tidak mungkin berkembang menjadi kemahiran profesional tanpa pengetahuan tentang teknik penerjemahan, latihan yang intensif dan pengalaman yang banyak.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Hidayat, Robinson (2005: 163-164) menyatakan bahwa penerjemahan merupakan rangkaian proses belajar yang bergerak terus-menerus melalui tiga tahapan, yaitu naluri, pengalaman dan kebiasaan. Tiga tahapan ini sebenarnya merupakan pemikiran seorang ahli filsafat Amerika dan penemu ilmu semiotik, Charles Sanders Peirce yang disederhanakan oleh Robinson sebagai landasan dalam menerjemahkan. Peirce menyatakan bahwa hubungan antara pengalaman dan kebiasaan merupakan kerangka tiga serangkai yang bermula dari naluri melewati pengalaman dan akhirnya menjadi kebiasaan. Dalam proses ini, naluri (instinct) atau kesiapan umum yang tidak terarah menempati urutan pertama; kedua adalah pengalaman (experience) yang didasarkan pada kejadian dan aktifitas kehidupan yang mempengaruhi individu dari luar; dan ketiga, kebiasaan (habit) yang lebih penting dari perbedaan antara kesiapan umum dan pengalaman dari luar karena menggabungkan proses keduanya yaitu menjadi ketepatan tindakan khususnya untuk bertindak dengan cara tertentu dalam kondisi tertentu yang terbentuk oleh pengalaman, misalnya menerjemahkan teks-teks tertentu dengan cara-cara tertentu. Ketepatan tindakan inilah yang oleh Piaget disebut sebagai kecerdasan. Menurut Piaget, kecerdasan adalah apa yang kita pergunakan ketika kita tidak tahu harus berbuat apa. Jika seseorang berhasil menemukan jawaban yang tepat untuk suatu persoalan hidup dengan banyak pilihan jawaban, maka ia adalah orang pandai. Namun ada lagi yang diperlukan untuk menjadi cerdas yaitu aspek kreatif sebagai sarana untuk menemukan sesuatu yang baru (Robinson, 2005: 81).
Dengan demikian kecerdasan berhubungan dengan proses improvisasi ketika seseorang sedang berpikir dan bertindak. Kecerdasan seperti ini diperlukan dalam penerjemahan karena pada saat menerjemahkan diperlukan penyelesaian masalah secara kreatif dalam kondisi budaya, sosial, dan tekstual
yang selalu baru. Dengan kata lain, kecerdasan yang sudah terarahlah yang memungkinkan penerjemah menerjemahkan dengan cepat dan terpercaya tentunya melalui pembelajaran teori dan praktik.
Pada dasarnya kemampuan yang diperlukan dalam menerjemahkan adalah kemampuan memecahkan masalah. Masalah praktis yang dihadapi, yakni ketika seorang penerjemah tidak paham makna kata, kalimat, atau paragraf sehingga tidak memahami pesannya, dan ketika penerjemah mengalami kesulitan menerjemahkannya meskipun sudah memahami TSu-nya.
Keadaan tersebut di atas, sesuai dengan apa yang diuraikan Lederer (1994 : 1), bahwa “l’act de traduire consiste à comprendre un texte, puis en une deuxème étape, à reéxprimer ce texte dans une autre langue. (Kegiatan menerjemahkan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah memahami TSu dan tahap kedua adalah mengungkapkan kembali teks tersebut kedalam bahasa lain). Selanjutnya Lederer menambahkan bahwa kedua tahap tersebut memiliki kompleksitas tersendiri. Tahap pertama memerlukan pengetahuan linguistik dan ekstra-linguistik yang cukup memadai sementara tahap kedua memerlukan pengetahuan Bsa, terutama kemampuan menulis. Ini berarti bahwa untuk dapat menerjemahkan, seseorang harus mengetahui seluk beluk penerjemahan, diantaranya prosedur, ideologi, metode, dan teknik penerjemahan (Amalia, 2007: 20). Akan tetapi, hanya sisi ideologi yang akan dikemukakan pada kesempatan ini.
B. Ideologi dalam Penerjemahan
Sebelum menerjemahkan, seorang penerjemah harus mengetahui untuk siapa (audience design) dan untuk tujuan apa (needs analysis) dia menerjemahkan. Proses ini merupakan salah satu proses yang tidak dapat diabaikan dalam menerjemahkan karena meruapakna proses awal dalam menetukan metode penerjemahan yang akan dan harus digunakan.
Setelah mengetahui audience design dan needs analysis seorang penerjemah harus mengetahui langkah-langkah penerjemahan yang biasa disebut sebagai prosedur penerjemahan (Hoed, 2006 : 67).
Penerjemahan merupakan reproduksi pesan yang tekandung dalam TSu. Hoed (2006: 83) mengutip pernyataan Basnett dan Lefevere bahwa apapun tujuannya, setiap reproduksi selalu dibayangi oleh ideologi tertentu. Ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang betul-salah dan baik-buruk dalam penerjemahan, yakni terjemahan seperti apa yang terbaik bagi masyarakat pembaca BSa atau terjemahan seperti apa yang cocok dan disukai masyarakat tersebut.
Ideologi yang digunakan penerjemah merupakan tarik-menarik antara dua kutub yang berlawanan, antara yang berorientasi pada BSu dan yang berorientasi pada BSa ( Venuti dalam Hoed, 2006: 84), yang oleh Venuti dikemukakan dengan istilah foreingnizing translation dan domesticating translation. Berikut adalah uraian mengenai kedua hal tersebut dengan berlandaskan pada paparan Hoed (2006: 83-90).
C. Foreignizing Translation
Foreignizing translation adalah ideologi penerjemahan yang berorientasi pada BSu, yakni bahwa penerjemahan yang betul, berterima, dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan pembaca, penerbit, yang menginginkan kehadiran kebudayaan BSu atau yang menganggap kehadiran kebudayaan asing bermanfaat bagi masyarakat. Penerjemah sepenuhnya berada di bawah kendali penulis TSu. Di sini yang menonjol adalah suatu aspek kebudayaan asing yang diungkapkan dalam bahasa pembaca. Sekait dengan Diagram-V dari Newmark, metode yang dipilih biasanya juga metode yang berorientasi pada Bsu, yaitu cenderung menggunakan jenis penerjemahan setia dan penerjemahan semantik.
Sekait dengan ideologi ini, sebagai ilustrasi eorang penerjemah tidak menerjemahkan kata-kata Mr, Mrs, Mom, Dad dan sejumlah kata asing lainnya dalam penerjemahan dari bahasa Inggris dengan alasan sapaan seperti itu tidak lagi asing bagi pembaca Indonesia, hal ini merupakan ciri bahwa penerjemah tersebut penganut ideologi Foreignizing Translation. Alasan lain yang dapat dikemukakan adalah agar anak-anak memperoleh pengetahuan kebudayaan lain.
D. Domesticating Translation
Domesticating translation adalah ideologi penerjemahan yang berorientasi pada BSa. Ideologi ini meyakini bahwa penerjemahan yang betul, berterima , dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan pembaca yang menginginkan teks terjemahan yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat BSa. Intinya, suatu terjemahan diharapkan tidak terasa seperti terjemahan. Terjemahan harus menjadi bagian dari tradisi tulisan dalam BSa. Oleh karena itu, penerjemah menentukan apa yang diperlukan agar terjemahannya tidak dirasakan sebagai karya asing bagi pembacanya. Sekait dengan Diagram-V dari
Newmark, biasanya metode yang dipilih pun adalah metode yang berorientasi pada BSa seperti adaptasi, penerjemahan idiomatik, dan penerjemahan komunikatif.
Bagi penganut ideologi domesticating, kata-kata asing seperti Mr, Mrs, Uncle, Aunt dan sebagainya harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar keseluruhan terjemahan hadir sebagai bagian dari bahasa Indonesia sehingga berterima di kalangan pembaca BSa. Ia akan berusaha memperkenalkan kebudayaan Indonesia pada dunia luar karena baginya penerjemahan yang betul adalah yang berterima dalam BSa dan tidak menghadirkan sesuatu yang asing.
Kecenderungan ini sudah dikemukakan pula oleh pakar teori penerjemahan, Nida dan Taber dalam Hoed (2006: 84) yang secara tegas mengemukakan bahwa penerjemahan yang baik berorientasi pada keberterimaan dalam bahasa pembacanya. Kedua pakar ini dipandang sebagai pendukung ideologi yang berorientasi pada kebudayaan BSa atau domestication.
Kedua ideologi ini merupakan salah satu masalah pilihan dalam penerjemahan, merupakan penentuan cara pandang dan hal ini merupakan tahap yang cukup penting dalam penerjemahan. Memilih ideologi foreignizing atau domesticating translation lain tidaklah salah, karena keduanya mewakili aspirasi yang ada dan telah disepakati di kalangan masyarakat dan tentu saja disesuaikan dengan need dan audience analysis.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Farida. 2007. Peningkatan Kemampuan Menerjemahkan Bahasa Perancis ke dalam Bahasa Indonesia Melalui Model Penerjemahan Pedagogis Profesional. Tesis. Bandung: FPBS UPI.
Hoed, Beny. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Moentaha, Solihen. 2006. Bahasa dan Terjemahan. Jakarta: Kesaint Blanc.

Posted in | 0 komentar

The textual metafunction

"The textual metafunction creates discourse"

"Of the various structures which, when mapped on to each other, make up a clause, we will consider first the one which gives the clause its character as a message. This is known as thematic structure.
We may assume that in all languages the clause has the character of a message: it has some form of organization giving it the status of a communicative event. But there are different ways in which this may be achieved. In English, as in many other languages, the clause is organized as a message by having a special status assigned to one part of it. One element in the clause is enunciated as the theme; this then combines with the remainder so that the two parts together constitute a message." (Halliday, p 37)
• creates discourse
• clause as message
• the linguistic expression of the other two metafunctions (ideational, interpersonal)
• theme vs. rheme
Subject – grammatical function
Actor – doer of the action
Theme – ‘what the sentence is about’

1. The chef is preparing dinner in the kitchen.
2. Dinner is being prepared in the kitchen.
3. In the kitchen the chef is preparing dinner.
4. In the kitchen dinner is being prepared by the chef.
________________________________________

Definitions of Theme
• the starting point of the clause message
• realized in English by first position in a clause
• must contain a participant, process or circumstance
• includes any element preceding the first participant, process or circumstance
Theme. Textual clause function: the point of departure of the clause as message. It sets up the local context for each clause. This local context often relates to the method of development of the text: the Theme is selected in such a way that it indicates how the clause relates to this method and contributes to the identification of the current step in the development. The term theme has an entirely different meaning in formal grammars (as does the term thematic roles), which has nothing to do with the long tradition of work on theme in Prague School linguistics and other functional traditions. => IFG Chapter 3. => LexCart Section 6.2. (From Christian Matthiessen: Glossary of systemic-functional terms. http://minerva.ling.mq.edu.au/)
Topic. The subject matter of a clause; what it is about – often as one member of the pair topic + comment. Topic corresponds roughly to the experiential part of Theme, Topical theme, in Halliday's analysis of English, but it typically excludes textual and interpersonal Themes. (Sometimes the notion of given or known is also included in topic, but never in Halliday's Theme.) Cf. IFG p. 39. (From Christian Matthiessen: Glossary of systemic-functional terms. http://minerva.ling.mq.edu.au/)
________________________________________

Theme in declarative sentences
Unmarked (Theme = Subject):
a. The two Indians stood waiting.
b. Nick and his father went into the stern of the boat.
c. The Indian who was rowing them was working very hard.
d. But I will have some photographs taken.
e. Oh, you’re a great man.
f. No, I think it’s pretty easy.
g. There was no need of that.
h. Of course it’s an accident.
Marked (Theme ¹Subject):
a. Across the bay they found the other boat.
b. In February 1979 he was awarded the George Cross posthumously.
c. And when you get down there you find he hasn’t actually got any.
d. Inside him was rising an urge to do something, take some action.
e. That I don’t know.
f. What she had felt he never knew.
g. Most troubling of all to some social scientists is the message men get that being a good father means learning how to mother.
Theme in interrogative sentences
1. Polarity (yes/no) questions: unmarked Theme = finite + Subject
a. Are you interested in syntax?
b. Would you like a cup of tea?
c. Oh, so is that your plan?
d. But don't any of the artist-folk fancy children?
e. By the way, were you serious about moving to Milton Keynes?
1. Wh-questions: unmarked Theme = Wh-word
a. What are you doing here?
b. Where are we going?
c. Then, in the name of goodness, why does she bother?
d. If it's true that contented cows give more milk, why shouldn't happy ball players produce more base hits?
Theme in imperative sentences
a. Wake me up before the coffee break.
b. Don’t disturb me while I’m taking a nap.
c. Let’s have a look at this recipe.
d. Oh please stop it.
Theme Rheme
point of departure of clause as message; local context of clause as piece of text. Non-Theme – where the presentation moves after the point of departure; what is presented in the local context set up by Theme.
initial position in the clause position following initial position
(table from Martin et al)
What elements go into the Theme?
1. The first experiential element in the clause (participant/process/circumstance)
2. Any element preceding the first experiential element in the clause (modal/connective adjuncts, conjunctions, finite, vocative,
________________________________________
Thematic equative
a. What he meant by this was that he was no longer an apprentice.
b. What they did was go into the stern of the boat.
c. The reason he asked you where you were going is because he hoped you would be visiting other areas.
________________________________________
Theme in clause complexes

When Philippa reached number 41 she stopped
Theme Rheme
structural topical Rheme Theme Rheme
Theme
1. As soon as she had pressed the doorbell – it let out a musical jingle – Philippa sensed that the house was empty.
2. Resisting the temptation to peer through the letter-box, she decided to try next door.
3. At least they would know whether Ducton still lived at 41 or where he had gone.
Week 7 (14+16. March): "More on thematic analysis": Multiple Theme; Predicated Theme; Theme and given/new; Theme in texts (article by P. Fries)
________________________________________
Theme–Rheme analysis of some sentences (Underlined: downranked themes):
Newspaper article (from The Daily Telegraph, Feb 10, 1999)
Theme Rheme
Parts of Northern Britain were brought to a standstill by heavy snow and ice yesterday with roads closed and dangerous driving conditions.
Scotland was worst hit.
Two hundred schools were closed in Aberdeenshire, where roadswere impassable,
and more than seven inches of snow was recorded at Aberdeen airport.
An injured climber survived 18 hours in sub-zero temperatures clinging to an ice-covered ledge after falling 400ft in Glencoe.
Lawrence Reeve, 40, a computer operator from Chessington, Surrey, was recovering in hospital yesterday after suffering severe facial injuries, a punctured lung and frostbite.
The lone walker was making his way along a ridge when he fell into Glen Cam, striking a boulder which saved him from a further drop of 300ft.
From A.A. Milne: Winnie-the-Pooh:
Theme Rheme
Once upon a time, a very long time ago now, about last Friday Winnie-the-Pooh lived in a forest all by himself under the name of Sanders.
One day when he was out walking he came to an open place in the middle of the forest
and in the middle of this place was a very large oak tree
and from the top of the tree there came a large buzzing noise.
Winnie-the-Pooh sat down at the foot of the tree,
put his head between his paws
and began to think.
First of all he said to himself
"That buzzing noise means something.
You don’t get a buzzing noise like that, just buzzing and buzzing, without its meaning something.
If there’s a buzzing noise, somebody’s making a buzzing noise
and the only reason for making a buzzing noise that I know of is because you’re a bee."
Then he thought for another long time
and said
"And the only reason for being a bee that I know of is making honey."
And then he got up,
and said
"And the only reason for making honey is so as I can eat it."
So he began to climb the tree.



http://folk.uio.no/hhasselg/systemic/Textual.htm

Posted in | 0 komentar

SYSTEMIC FUNCTIONAL GRAMMAR AND TRANSITIVITY

The main theoretical construct used in the data analysis is transitivity. This construct finds its roots in Halliday's Systemic Functional Grammar7. Transitivity generally refers to how meaning is represented in the clause. It plays a role in showing how speakers encode in language their mental picture of reality and how they account for their experience of the world around them. Since transitivity is concerned with the transmission of ideas it is considered to fall within the realm of the ideational function of language8.

Linguistically, transitivity is concerned with propositional meanings and functions of syntactic elements. The representations that can be attested within a transitivity model are said to signal bias, manipulation and ideology in discourse. Coincidentally, a large amount of social impact of media has to do with how the media selectively represents the states of being, actions, events and situations concerning a given society.

Transitivity is part of the ideational function of language and is a fundamental and powerful semantic concept in Halliday, an essential tool in the analysis of representation9. Kress states that transitivity is the representation in language of processes, the participants therein, and the circumstantial features associated with them10, whereas Simpson asserts that transitivity refers generally to how meaning is represented in the clause11. Transitivity shows how speakers encode in language their mental picture of reality and how they account for their experience of the world around them.

The meaning of Halliday's transitivity differs from the sense of the term in traditional grammar. Traditionally there is a syntactic distinction between transitive and intransitive verbs, depending on whether they take an object or not. But this syntactic distinction oversimplifies or neglects some important differences of meaning between various types of verbs, and, therefore various types of clauses. The differences concern what kind of process the verb designates: kick designates a kind of action, which has an effect on another entity, the ball; ran refers to an action, which affects only the actor(s). In Jane is tall, we find a quite different state of affairs encoded, namely, no action but a description of a physical state. Peter meditates refers to a mental process, not a physical action.

There are many more distinctions of meaning behind transitivity than the simple distinction expressed by transitive versus intransitive. A central insight of Halliday's is that transitivity is the foundation of representation; it is the way the clause is used to analyse events and situations as being of certain types. Transitivity also has the facility to analyse the same event in different ways, a facility which, as Fowler shows, is of great interest in newspaper analysis12. Since transitivity makes options available, some possibilities are always suppressed, so the choice a speaker makes or the choice made by the discourse indicates that the speaker's point of view is ideologically significant. Newspapers provide abundant examples of the ideological significance of transitivity.

Posted in | 0 komentar

Pedoman bagi Penerjemah:

Panduan Lengkap bagi Anda yang Ingin Menjadi Penerjemah Profesional adalah buku berbahasa Indonesia pertama yang saya temukan yang memberikan pedoman teoritis sekaligus praktis untuk melakukan penerjemahan. Buku ini adalah buah karya Rochayah Machali (Rochie) yang telah berkecimpung, baik sebagai teoritisi maupun praktisi, dalam bidang penerjemahan sejak awal 1990-an. Saat ini beliau menjadi pengajar di School of Languages and Linguistics, University of New South Wales, Sydney, Australia.

Tinjauan
Buku ini terdiri dari 11 bab, 5 lampiran, dan suatu daftar pustaka yang mencantumkan banyak rujukan. Meskipun pembahasan dalam setiap bab cukup mendalam, adanya uraian tentang cara pembahasan pada bagian awal serta kesimpulan pada bagian akhir masing-masing bab sangat memudahkan pemahaman isi. Setiap bab pun dilengkapi dengan contoh-contoh dan latihan sebagai sarana pemantapan pemahaman pembaca.
Bab-bab yang terdapat dalam buku ini adalah sebagai berikut.
1. Penerjemahan dan penerjemah.
2. Konsep dasar mengenai bahasa, fungsi, dan ragam.
3. Proses dan tahap penerjemahan.
4. Metode penerjemahan.
5. Prosedur penerjemahan.
6. Teknik penerjemahan.
7. Pergeseran makna umum, perubahan maksud, ketaksaan, dan pemadanan.
8. Penilaian terjemahan.
9. Topik khusus 1: Seksisme bahasa dan penerjemahan.
10. Topik khusus 2: Perspektif wacana dan penerjemahan.
11. Pendidikan dan pelatihan penerjemahan.
Lampirannya antara lain memuat daftar organisasi dan tempat pendidikan penerjemah serta terjemahan bahasa Indonesia dari Translator’s Charter FIT.
Ringkasan
Berikut adalah ringkasan dari isi buku yang disajikan dalam bentuk padat: satu alinea untuk masing-masing bab.
Penerjemahan bukanlah semata kegiatan menggantikan teks bahasa sumber (TSu) ke dalam teks bahasa sasaran (TSa) melainkan perlu dipandang sebagai suatu tindak komunikasi, bukan sekadar kumpulan kata dan kalimat. Penerjemah perlu melihat penerjemahan dari dua pendekatan, yaitu proses dan produk, serta perlu dibekali dengan perangkat intelektual (kemampuan dalam bahasa sumber dan sasaran, pengetahuan tentang topik terjemahan, penerapan pengetahuan pribadi, serta keterampilan) dan praktis (penggunaan sumber rujukan serta pengenalan konteks langsung maupun tak langsung).
Bahasa merupakan (1) sistem yang terstruktur, (2) sistem bunyi yang bersifat manasuka, serta (3) sarana komunikasi antarpribadi. Aspek kebahasaan yang harus dipahami dan diperhatikan oleh penerjemah antara lain adalah bentuk (bunyi, tulisan, dan struktur), makna, fungsi, dan ragam bahasa. Hierarki satuan bahasaadalah kalimat, klausa, frase, kata, dan morfem. Makna dapat dilihat dari segi hubungan dengan kata lain (leksikal, gramatikal, kontekstual, dan sosiokultural) serta dari segi asalnya (primer atau referensial dan sekunder atau konotatif). Fungsi bahasa dapat digolongkan menjadi (1) ekspresif, (2) informatif, (3) vokatif, (4) estetik, (5) fatis, serta (6) metalingual. Ragam bahasa adalah perbedaan yang ada dalam penggunaan suatu bahasa yang bisa bersumber dari variasi internal maupun eksternal. Ada empat istilah untuk menunjukkan keragaman bahasa, yaitu (1) dialek, (2) laras, (3) gaya, dan (4) idiolek. Gaya bahasa dapat dibagi menjadi lima, yaitu ragam beku, resmi, operasional, santai, dan akrab. Pembagian ragam juga dapat dilakukan menurut ragam baku (dengan ciri kemantapan dinamis dan kecendikiaan) dan tak baku.
Proses penerjemahan terdiri dari tiga tahap, yaitu (1) analisis, (2) pengalihan, dan (3) penyerasian, yang masing-masing dapat diulangi untuk lebih memahami isi teks. Analisis dilakukan untuk memahami (1) maksud penulisan, (2) cara atau gaya penyampaian, serta (3) pemilihan satuan bahasa. Pengalihan dilakukan untuk menggantikan unsur TSu dengan TSa yang sepadan baik bentuk maupun isinya dengan mengingat bahwa kesepadanan bukanlah kesamaan. Penyerasian dilakukan untuk penyesuaian hasil terjemahan dengan kaidah dan peristilahan dalam bahasa sasaran. Dalam analisis dan pengalihan, dapat dimanfaatkan konstruk konteksi situasi yang terdiri dari tiga unsur: bidang (field), suasana atau nada (tenor), dan cara (mode). Setelah analisis, seorang penerjemah harus memilih orientasi ke bahasa sumber (BSu) atau bahasa sasaran (BSa) dengan mempertimbangkan (1) maksud penerjemahan, (2) pembaca, (3) jenis teks, serta (4) kesenjangan waktu.
Metode penerjemahan adalah cara melakukan penerjemahan menurut suatu rencana tertentu. Ada delapan metode penerjemahan, yaitu (1) kata-demi-kata, (2) harfiah, (3) setia, (4) semantis, (5) adaptasi, (6) bebas, (7) idiomatik, (8) komunikatif. Metode semantis dan komunikatif sering dianggap paling memenuhi tujuan ketepatan dan efisiensi dalam penerjemahan.
Prosedur dan metode penerjemahan dibedakan menurut satuan penerapannya: Metode pada keseluruhan teks sedangkan prosedur pada satuan bahasa seperti kalimat, klausa, frase, dan kata. Lima prosedur penerjemahan terpenting adalah (1) transposisi, (2) modulasi, (3) adaptasi, (4) pemadanan berkonteks, dan (5) pemadanan bercatatan. Transposisi atau pergeseran bentuk adalah pengubahan bentuk gramatikal dari BSu ke BSa yang dibagi menjadi empat jenis, yaitu (1) wajib dan otomatis, (2) penyesuaian struktur gramatika, (3) pewajaran ungkapan, serta (4) pengisian kesenjangan leksikal. Modulasi atau pergeseran makna adalah pergeseran struktur yang juga menyebabkan perubahan perspektif, sudut pandang, atau segi maknawi lain yang dibagi menjadi (1) wajib, yang dilakukan apabila suatu kata, frase, atau struktur tidak ada padanannya dalam BSa, serta (2) bebas, yang dilakukan karena alasan nonlinguistik. Adaptasi adalah pengupayaan padanan kultural antara dua situasi tertentu. Pemadanan berkonteks adalah pemberian suatu informasi dalam konteks sehingga maknanya jelas. Pemadanan bercatatan adalah pemberian catatan untuk hal yang tak bisa ditangani oleh prosedur-prosedur lain.
Teknik penerjemahan adalah hal-hal praktis, berbeda dengan metode dan prosedur yang kurang lebih normatif, yang langsung berkaitan dengan langkah praktis dan pemecahan masalah dalam penerjemahan. Masalah praktis ini terkait dengan berbagai masalah kebahasaan antara lain (1) fungsi teks, (2) gaya bahasa, (3) ragam fungsional, (4) dialek, serta (5) masalah khusus yang perlu penanganan praktis seperti idiom dan metafora.
Kesepadanan adalah hal utama yang harus diperhatikan dalam penerjemahan. Pergeseran yang terjadi dalam proses penerjemahan karena metode, prosedur, dan/atau teknik yang diterapkan harus menjamin (1) fungsi dan maksud umum teks tidak berubah, serta (2) makna referensial TSu dipertahankan dalam TSa. Ketaksaan, teks yang tidak runtut, serta unsur yang meragukan harus dikenali dengan jeli dan diputuskan oleh penerjemah.
Penilaian terjemahan dilakukan terhadap produk dan bukan proses. Dalam penilaian terjemahan, yang perlu dipahami adalah (1) segi dan aspek penilaian, (2) kriteria penilaian, serta (3) cara penilaian. Segi dan aspek penilaian bisa dilihat antara lain dari (1) ketepatan (linguistik, semantik, pragmatik), (2) kewajaran ungkapan, (3) peristilahan, dan (4) ejaan. Kriteria penilaian ditetapkan terhadap masing-masing segi atau aspek penilaian baik secara positif maupun secara negatif. Cara penilaian terbagi dua, yaitu cara umum (relatif dapat diterapkan pada segala jenis terjemahan) dan cara khusus (untuk jenis teks khusus seperti teks bidang hukum atau puisi). Pada akhirnya, penilaian terjemahan dilakukan terhadap ada tidaknya serta besarnya penyimpangan makna referensial yang terjadi.
Penutup
Buku terbitan Penerbit Kaifa (Mizan) setebal 252 halaman ini sangat bermanfaat bagi para penerjemah; bekal bagi penerjemah pemula dan pengingat bagi penerjemah kawakan. Hampir semua aspek penerjemahan dimuat secara terstruktur dengan bahasa yang cukup mudah untuk dipahami. Harga eceran Rp39.500 yang ditetapkan untuk buku ini adalah investasi yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan penerjemah dan memperbaiki kualitas terjemahannya.
Address: http://blog.bahtera.org/2010/02/pedoman-bagi-penerjemah/
Meningkatkan Kualitas Terjemahan Melalui Evaluasi Mandiri »

Posted in | 0 komentar