penerjemahan istilah budaya
Posted On Senin, 19 Desember 2011 at di 21.56 by Language Access CentrePenerjemahan istilah budaya sering menjadi masalah apabila dalam bahasa sasaran (BSa) tidak ditemukan konsep budaya yang sama sehingga tidak ditemukannya padanan yang tepat. Dalam Venuti (2000:427), seandainya tidak ditemukan padanan konsep budaya yang tepat, istilah budaya tersebut tetap ditulis apa adanya. Namun perlu disertai catatan tambahan (footnote) dan daftar kata yang mengacu pada bagian teks yang memiliki konteks budaya tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk menerangkan konsep budaya yang dimaksud sehingga pembaca bisa memahami hasil terjemahannya. Sebaliknya, apabila konsep budaya yang diterjemahkan ditemukan pada BSa, tentunya penerjemahannya akan lebih mudah menemukan padanan dengan tepat tanpa adanya footnote ataupun daftar kata dari istilah budaya tersebut.
Berikut temuan istilah budaya dalam teks.
1. Teknik peminjaman alamiah
No | Istilah Budaya | Teknik Penerjemahan | |
BSu | BSa | ||
1 | culinary | kuliner | Peminjaman alamiah |
2 | satay | sate | Peminjaman alamiah |
Teknik peminjaman alamiah dilakukan dengan mempertahankan BSu dalam teks terjemahan (BSa). Namun, peminjaman disertai penyesuaian lafal pada BSa. Hasil temuan diatas, kedua istilah tersebut dikenal dalam BSa, hanya saja dengan pelafalan yang disesuaiakan dengan BSa.
2. Teknik peminjaman murni
No | Istilah Budaya | Teknik Penerjemahan | |
Bsu | Bsa | ||
1 | batik | batik | Peminjaman murni |
2 | solo batik carnival | solo batik carnival | Peminjaman murni |
3 | warung | warung | Peminjaman murni |
4 | hik | hik | Peminjaman murni |
5 | jadah | jadah | Peminjaman murni |
6 | melting pot | melting pot | Peminjaman murni |
Teknik peminjaman murni dilakukan dengan mempertahankan BSu sama persis pada teks BSa. Mengingat istilah yang diterjemahkan adalah istilah budaya, ada 2 kemungkinan yaitu (1) konsep budaya dalam BSa telah dikenal dengan baik atau ditemukan dalam teks BSu, (2) konsep budaya pada BSa tidak dikenal dalam BSu, sehingga diperlukan keterangan tambahan.
Untuk kasus no.1 – 5, konsep budaya telah dikenal atau bahkan berasal dari BSu sehingga cukup diterjemahkan tetap atau tidak mengalami perubahan. Sementara, untuk kasus no.6, istilah melting pot tidak dikenal dalam BSa, sehingga diterjemahkan apa adanya, dan di dalam teks telah dijelaskan secara detail pada kalimat selanjutnya ditandai dengan apositif ( -- ).
Warung HIK is something of a melting pot in fact – a place for people to chat, speak without censorship and kill time with help of a glass of hot ginger tea and snack such as fried peanuts, various satay or the grilled sticky rice cakes known as jadah.
Adanya penjelasan tentang melting pot di kalimat selanjutnya dan dirasa dapat dipahami oleh pembaca, maka cukup diterjemahkan dengan apa adanya atau tidak diterjemahkan.
3. Teknik reduksi
No | Istilah Budaya | Teknik Penerjemahan | |
BSu | BSa | ||
1 | the grilled sticky rice cakes known as jadah | jadah bakar | reduksi |
Pada the grilled sticky rice cakes known as jadah yang diterjemahkan menjadi jadah bakar menggunakan teknik reduksi. Teknik tersebut dilakukan dengan penghilangan secara parsial tanpa menimbulkan distorsi makna. Frasa the grilled sticky rice cakes dihilangkan karena maknanya dinilai sudah cukup terwakili dengan jadah bakar.
4. Teknik adaptasi
No | Istilah Budaya | Teknik Penerjemahan | |
BSu | BSa | ||
1 | stalls | warung | adaptasi |
2 | pushcarts | gerobak dorong | adaptasi |
3 | snack | camilan | adaptasi |
Teknik ini dikenal dengan adaptasi budaya. Hal ini dilakukan menggantikan istilah budaya dalam BSu dengan istilah budaya yang lebih akrad dikenal dalam BSa.
- Stall secara harfiah berarti table or small open shop from which things are sold in the street’ atau stan, kios, took kecil dipinggir jalan. Akan tetapi dalam BSa ada istilah yang kebih familiar yaitu warung. Hal tersebut dilakukan agar mudah dipahami oleh pembaca sasaran.
- Pushcarts dalam BSu dikenal dengan kereta dorong. Istilah gerobak dorong lebih familiar bagi pembaca teks sasaran.
- Snack mengacu pada makanan ringan, sedangkan dalam BSa ada istilah yang lebih dikenal yaitu camilan.
5. Teknik penerjemahan harfiah
No | Istilah Budaya | Teknik Penerjemahan | |
BSu | BSa | ||
1 | hot ginger tea | teh jahe panas | harfiah |
Dalam contoh temuan ini, penerjemah melakukan teknik harfiah. Teknik ini dilakukan dengan penyesuaian kaidah bahasa dalam BSa. Hot à panas, gingeràjahe, teaà teh; Dalam BSu modifier diletakkan terlebih dulu, sedangkan dalam BSa head didepan.
Teknik penerjemahan yang digunakan dalam teks ada lima yaitu: peminjaman murni, alamiah, reduksi, adaptasi dan penerjemahan harfiah. Secara keseluruhan, dalam kasus penerjemahan istilah budaya diatas, konsep budaya ditemukan dalam BSa, bahkan beberapa istilah budaya tersebut justru berasal dari BSa.
Yoyo Surjakusumah FENOMENA KASTRASI LINGUISTIK DAN TRANSPOSISI DALAM TEKS TERJEMAHAN DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMBELAJARAN PENERJEMAHAN
Posted On Kamis, 15 Desember 2011 at di 19.01 by Language Access CentrePenelitian ini dilakukan untuk meneliti fenomena kastrasi linguistik dan fenomena
transposisi dalam teksterjemahan. Penelitian ini difokuskan untuk mencarijawaban atas
pertanyaan-pertanyaan penelitian berukut. 1). Bagaimana wujud kastrasi linguistik dan
transposisi dalam teks terjemahan? 2). Apa penyebab terjadinya fenomena kastrasi linguistik dan
transposisi? 3). Bagaimana cara pembelajar menerjemahkan teks bahasa Inggris ke bahasa
Indonesia? 4). Adakah hubungan antara tingkat keterbacaan, berdasarkan rumus Fry dan rumus
Mac Laughlin, dengan fenomena kastrasi linguistik dan trasposisi? 5) Apa implikasinya bagi
pembelajaran penerjemahan?.
Dengan menggunakan pendekatan deskripsi terfokus (focused description) dan teknik
analisis struktur mikro (microsrtuctural) teks sumber, berbahasa Inggris, dan teks terjemahan,
berbahasa Indonesia, dibandingkan untuk menelusuri siasat-siasat penerjemahan yang digunakan
para penerjemah senior dalam upayanya untuk memindahkan amanat teks.
Empat teks terjemahan dipilih berdasarkan asumsi bahwa teks-teks tersebut bisa
dikategorikan sebagai hasil terjemahan yang baik. Dua teks terjemahan, bahkan, dilakukan oleh
dua ahli yang sesuai dengan bidangnya. Dua teks lainnya telah diterbitkan oleh penerbit yang
memiliki citra yang baik dalam bidangnya. Keempat teks (korpus) terjemahan itu seluruhnya
berjumlah 1.398 paragraf. Setiap paragraf teks terjemahan diperbandingkan dengan teks asli
dengan menggunakan analisis struktur mikro yang difokuskan pada dua fenomena, yaitu
fenomena kastrasi linguistik dan fenomena transposisi. Sejumlah paragraf yang diterjemahkan
oleh para pembelajar juga dianalisis untuk mengetahui cara atau siasat penerjemahan yang
mereka gunakan.
Teori yang melandasi penelitian teks terjemahan ini adalah,....the scene of linguistik
castration-which is nothing other then a scene of impossible but unavoidable translation and
normally takes place out of sight – is played on center stage (Jonson, 1985 dalam Gentzler,
1993: 195 dan ...”they resort to shifts precisely because they are attempting to render faithfully
the content of the original despite the differences between the languages” (Popovic, 1970 dalam
Gentzler, 1993:86).
Dalam penelitian ini, kastrasi linguistik dan transposisi digunakan para penerjemah dalam
jumlah yang cukup signifikan. Fenomena kastrasi linguistik terjadi pada tataran kata, frase,
klausa. Sedangkan fenomena transposisi terjadi pada tataran kata. Frasa, klausa dan kalimat.
Akibat dari penggunaan kastrasi linguistik dan transposisi unsur-unsur sintatik tersebut kalimat
terjemahan menjadi lebih baik dan lebih enak dibaca tanpa mengorbankan amanat teks. Kedua
fenomena tersebut adalah perwujudan dari norma bahasa sumber dan bahasa sasaran yang harus
diikuti para penerjemah sebagai pedoman agar teks terjemahannya lebih alami.
Dari temuan ini terbukti kastrasi linguistik dan transposisi merupakan siasat
penerjemahan yang efektif dan efisien untuk mempercepat proses penerjemahan. Penelitian
sejenis dengan jumlah sampel yang lebih besar dan jenis teks yang lain perlu dilakukan untuk
mendukung atau menolaktemuan dari penelitian ini
http://abstrak.digilib.upi.edu/Direktori/DISERTASI/PENDIDIKAN_BAHASA_INDONESIA/Yoyo_Surjakusumah_FENOMENA_KASTRASI_LINGUISTIK_DAN_TRANSPOSISI_DALAM_TEKS_TERJEMAHAN_DAN_IMPLIKASINYA_BAGI_PEM.pdf
IDEOLOGI DALAM PENERJEMAHAN/ IDEOLOGIES DANS LA TRADUCTION
Posted On Senin, 12 Desember 2011 at di 21.59 by Language Access CentreFARIDA AMALIA – Universitas Pendidikan Indonesia
RESUME
La traduction est, par définition, transférer un texte d'une langue dans une autre. Or, derrière ce travail se cachent beaucoup de facteurs dont on doit tenir compte : non seulement des aspects linguistiques, mais aussi culturels, conceptuels pour n'en citer que quelques-uns.
A. Pendahuluam
Penerjemahan adalah kegiatan mengalihkan secara tertulis pesan dari teks suatu bahasa ke dalam teks bahasa lain (Hoed, 2006: 51). Hal ini senada dengan pendapat Moentaha (2006: 13-25) yang menyatakan bahwa penerjemahan adalah proses penggantian teks dalam bahasa sumber (BSu) dengan teks dalam bahasa sasaran (BSa) tanpa mengubah tingkat isi teks. Pengertian tingkat isi ini tidak hanya yang menyangkut arti dasar (material meaning), ide atau konsepsi yang terkandung dalam tingkat isi, melainkan semua informasi yang ada dalam teks BSa, yaitu semua norma-norma bahasa, seperti makna leksikal, makna gramatikal, nuansa stilistis/nuansa ekspresif. Dengan kata lain, penerjemahan merupakan pengkajian leksikon, struktur gramatika, situasi komunikasi, dan kontak budaya antara dua bahasa yang dilakukan lewat analisis untuk menentukan makna.
Definisi-definisi mengenai penerjemahan di atas merujuk pada pentingnya pengungkapan makna atau pesan yang dimaksud dalam wacana asli. Pada penerjemahan, pesan penulis harus tetap dijaga dan dikomunikasikan kepada pembaca terjemahan, isi TSa harus sama dengan TSu sehingga pesan yang dimaksud dalam BSu dapat dipahami dalam pembaca BSa walaupun bentuknya mungkin berbeda. Jadi, sepadan dalam hal ini bukan berarti sama, melainkan mengandung pesan yang sama.
Dari uraian di atas pula, dapat dikemukakan bahwa penerjemahan bukanlah sesuatu yang sederhana, bukan sebatas mengalihbahasakan dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain dan bukan pula pekerjaan yang bisa dilakukan siapa saja tanpa dipelajari. Seperti yang dinyatakan Luther dalam Simatupang (2000: 3) bahwa “Translation is not everybody’s art”. Menerjemahkan, bagi Luther adalah sebuah seni yang tidak bisa begitu saja dimiliki setiap orang. Hal ini menunjukkan bahwa menerjemahkan bukanlah hal yang mudah. Ia membutuhkan keterampilan yang kompleks. Sebagai sebuah seni, seperti juga seni musik, seni rupa, seni tari, menerjemahkan bersifat intuitif oleh karenanya tidak mungkin berkembang tanpa pengetahuan, latihan dan pengalaman.
Sekaitan dengan pendapat di atas, Hidayat (2002:35) mengemukakan bahwa kemahiran menerjemahkan tidak mungkin berkembang menjadi kemahiran profesional tanpa pengetahuan tentang teknik penerjemahan, latihan yang intensif dan pengalaman yang banyak.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan Hidayat, Robinson (2005: 163-164) menyatakan bahwa penerjemahan merupakan rangkaian proses belajar yang bergerak terus-menerus melalui tiga tahapan, yaitu naluri, pengalaman dan kebiasaan. Tiga tahapan ini sebenarnya merupakan pemikiran seorang ahli filsafat Amerika dan penemu ilmu semiotik, Charles Sanders Peirce yang disederhanakan oleh Robinson sebagai landasan dalam menerjemahkan. Peirce menyatakan bahwa hubungan antara pengalaman dan kebiasaan merupakan kerangka tiga serangkai yang bermula dari naluri melewati pengalaman dan akhirnya menjadi kebiasaan. Dalam proses ini, naluri (instinct) atau kesiapan umum yang tidak terarah menempati urutan pertama; kedua adalah pengalaman (experience) yang didasarkan pada kejadian dan aktifitas kehidupan yang mempengaruhi individu dari luar; dan ketiga, kebiasaan (habit) yang lebih penting dari perbedaan antara kesiapan umum dan pengalaman dari luar karena menggabungkan proses keduanya yaitu menjadi ketepatan tindakan khususnya untuk bertindak dengan cara tertentu dalam kondisi tertentu yang terbentuk oleh pengalaman, misalnya menerjemahkan teks-teks tertentu dengan cara-cara tertentu. Ketepatan tindakan inilah yang oleh Piaget disebut sebagai kecerdasan. Menurut Piaget, kecerdasan adalah apa yang kita pergunakan ketika kita tidak tahu harus berbuat apa. Jika seseorang berhasil menemukan jawaban yang tepat untuk suatu persoalan hidup dengan banyak pilihan jawaban, maka ia adalah orang pandai. Namun ada lagi yang diperlukan untuk menjadi cerdas yaitu aspek kreatif sebagai sarana untuk menemukan sesuatu yang baru (Robinson, 2005: 81).
Dengan demikian kecerdasan berhubungan dengan proses improvisasi ketika seseorang sedang berpikir dan bertindak. Kecerdasan seperti ini diperlukan dalam penerjemahan karena pada saat menerjemahkan diperlukan penyelesaian masalah secara kreatif dalam kondisi budaya, sosial, dan tekstual
yang selalu baru. Dengan kata lain, kecerdasan yang sudah terarahlah yang memungkinkan penerjemah menerjemahkan dengan cepat dan terpercaya tentunya melalui pembelajaran teori dan praktik.
Pada dasarnya kemampuan yang diperlukan dalam menerjemahkan adalah kemampuan memecahkan masalah. Masalah praktis yang dihadapi, yakni ketika seorang penerjemah tidak paham makna kata, kalimat, atau paragraf sehingga tidak memahami pesannya, dan ketika penerjemah mengalami kesulitan menerjemahkannya meskipun sudah memahami TSu-nya.
Keadaan tersebut di atas, sesuai dengan apa yang diuraikan Lederer (1994 : 1), bahwa “l’act de traduire consiste à comprendre un texte, puis en une deuxème étape, à reéxprimer ce texte dans une autre langue. (Kegiatan menerjemahkan terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah memahami TSu dan tahap kedua adalah mengungkapkan kembali teks tersebut kedalam bahasa lain). Selanjutnya Lederer menambahkan bahwa kedua tahap tersebut memiliki kompleksitas tersendiri. Tahap pertama memerlukan pengetahuan linguistik dan ekstra-linguistik yang cukup memadai sementara tahap kedua memerlukan pengetahuan Bsa, terutama kemampuan menulis. Ini berarti bahwa untuk dapat menerjemahkan, seseorang harus mengetahui seluk beluk penerjemahan, diantaranya prosedur, ideologi, metode, dan teknik penerjemahan (Amalia, 2007: 20). Akan tetapi, hanya sisi ideologi yang akan dikemukakan pada kesempatan ini.
B. Ideologi dalam Penerjemahan
Sebelum menerjemahkan, seorang penerjemah harus mengetahui untuk siapa (audience design) dan untuk tujuan apa (needs analysis) dia menerjemahkan. Proses ini merupakan salah satu proses yang tidak dapat diabaikan dalam menerjemahkan karena meruapakna proses awal dalam menetukan metode penerjemahan yang akan dan harus digunakan.
Setelah mengetahui audience design dan needs analysis seorang penerjemah harus mengetahui langkah-langkah penerjemahan yang biasa disebut sebagai prosedur penerjemahan (Hoed, 2006 : 67).
Penerjemahan merupakan reproduksi pesan yang tekandung dalam TSu. Hoed (2006: 83) mengutip pernyataan Basnett dan Lefevere bahwa apapun tujuannya, setiap reproduksi selalu dibayangi oleh ideologi tertentu. Ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang betul-salah dan baik-buruk dalam penerjemahan, yakni terjemahan seperti apa yang terbaik bagi masyarakat pembaca BSa atau terjemahan seperti apa yang cocok dan disukai masyarakat tersebut.
Ideologi yang digunakan penerjemah merupakan tarik-menarik antara dua kutub yang berlawanan, antara yang berorientasi pada BSu dan yang berorientasi pada BSa ( Venuti dalam Hoed, 2006: 84), yang oleh Venuti dikemukakan dengan istilah foreingnizing translation dan domesticating translation. Berikut adalah uraian mengenai kedua hal tersebut dengan berlandaskan pada paparan Hoed (2006: 83-90).
C. Foreignizing Translation
Foreignizing translation adalah ideologi penerjemahan yang berorientasi pada BSu, yakni bahwa penerjemahan yang betul, berterima, dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan pembaca, penerbit, yang menginginkan kehadiran kebudayaan BSu atau yang menganggap kehadiran kebudayaan asing bermanfaat bagi masyarakat. Penerjemah sepenuhnya berada di bawah kendali penulis TSu. Di sini yang menonjol adalah suatu aspek kebudayaan asing yang diungkapkan dalam bahasa pembaca. Sekait dengan Diagram-V dari Newmark, metode yang dipilih biasanya juga metode yang berorientasi pada Bsu, yaitu cenderung menggunakan jenis penerjemahan setia dan penerjemahan semantik.
Sekait dengan ideologi ini, sebagai ilustrasi eorang penerjemah tidak menerjemahkan kata-kata Mr, Mrs, Mom, Dad dan sejumlah kata asing lainnya dalam penerjemahan dari bahasa Inggris dengan alasan sapaan seperti itu tidak lagi asing bagi pembaca Indonesia, hal ini merupakan ciri bahwa penerjemah tersebut penganut ideologi Foreignizing Translation. Alasan lain yang dapat dikemukakan adalah agar anak-anak memperoleh pengetahuan kebudayaan lain.
D. Domesticating Translation
Domesticating translation adalah ideologi penerjemahan yang berorientasi pada BSa. Ideologi ini meyakini bahwa penerjemahan yang betul, berterima , dan baik adalah yang sesuai dengan selera dan harapan pembaca yang menginginkan teks terjemahan yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat BSa. Intinya, suatu terjemahan diharapkan tidak terasa seperti terjemahan. Terjemahan harus menjadi bagian dari tradisi tulisan dalam BSa. Oleh karena itu, penerjemah menentukan apa yang diperlukan agar terjemahannya tidak dirasakan sebagai karya asing bagi pembacanya. Sekait dengan Diagram-V dari
Newmark, biasanya metode yang dipilih pun adalah metode yang berorientasi pada BSa seperti adaptasi, penerjemahan idiomatik, dan penerjemahan komunikatif.
Bagi penganut ideologi domesticating, kata-kata asing seperti Mr, Mrs, Uncle, Aunt dan sebagainya harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia agar keseluruhan terjemahan hadir sebagai bagian dari bahasa Indonesia sehingga berterima di kalangan pembaca BSa. Ia akan berusaha memperkenalkan kebudayaan Indonesia pada dunia luar karena baginya penerjemahan yang betul adalah yang berterima dalam BSa dan tidak menghadirkan sesuatu yang asing.
Kecenderungan ini sudah dikemukakan pula oleh pakar teori penerjemahan, Nida dan Taber dalam Hoed (2006: 84) yang secara tegas mengemukakan bahwa penerjemahan yang baik berorientasi pada keberterimaan dalam bahasa pembacanya. Kedua pakar ini dipandang sebagai pendukung ideologi yang berorientasi pada kebudayaan BSa atau domestication.
Kedua ideologi ini merupakan salah satu masalah pilihan dalam penerjemahan, merupakan penentuan cara pandang dan hal ini merupakan tahap yang cukup penting dalam penerjemahan. Memilih ideologi foreignizing atau domesticating translation lain tidaklah salah, karena keduanya mewakili aspirasi yang ada dan telah disepakati di kalangan masyarakat dan tentu saja disesuaikan dengan need dan audience analysis.
DAFTAR PUSTAKA
Amalia, Farida. 2007. Peningkatan Kemampuan Menerjemahkan Bahasa Perancis ke dalam Bahasa Indonesia Melalui Model Penerjemahan Pedagogis Profesional. Tesis. Bandung: FPBS UPI.
Hoed, Beny. 2006. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Moentaha, Solihen. 2006. Bahasa dan Terjemahan. Jakarta: Kesaint Blanc.