Metode Pendekatan Kritik Sastra Formalis

Formalisme, atau yang oleh tokoh utamanya dinamakan “metode formal” (Formal’ njy metod) adalah aliran kritik sastra yang timbul di Rusia sebagai reaksi terhadap aliran positifisme abad ke-19 khususnya yang berhubungan erat dengan puisi moderen Rusia yang beraliran futurisme.
Secara definitif kritik sastra Formalisme adala aliran kritik sastra yang lebih mementingkan pola-pola bunyi dan bentuk formal kata atau dengan kata lain, karya sebagai struktur telah menjadi sasaran ilmu sastra. Sesuatu yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah perhatian terhadap apa yang dianggap khas dalam sebuah karya sastra, yang mereka sebut literariness, dan usaha membebaskan ilmu sastra dari kekangan ilmu lain, misalnya psikologi, sejarah dan telaah kebudayaan.
Gerakan formalisme ini juga dikembangkan dalam metode penilitan bahasa yang dikemukakan oleh Saussure. Para formalis menampilkan percobaan sistematis untuk meletakkan studi sastra secara khusus. Bahasa puisi (tertulis) merupakan objek utama dari pendekatan kritik sastra formalis. Puisi dijadikan sebagai bentuk bahasa yang khas melalui penyimpangan dan distorsi bahasa sehari-hari (defamiliarisasi).
Gerakan formalis, memang tidak dapat disangkal, secara tidak langsung telah menorehkan garis demarkasi terhadap bahasa prosa yang sebenarnya juga termasuk dalam studi sastra. Bagi para Formalis, prosa menjadi the other sehingga pengertian mengenai fiksi yang sesungguhnya terpusat dalam istilah defamiliarisasi atas bahasa sehari-hari. Hal demikian dapat dipahami karena sejak timbulnya pemberontakan kaum Bolsevik di Rusia, bahasa yang terdapat dalam prosa menjadi stimulus dan kendaraan propaganda yang paling efektif untuk membuat massa bergerak sesuai kebijakan yang telah ditentukan. Bagi para Formalis, bahasa demikian jelas menjauhkan orang dari imajinasi dan penafsiran yang terus terbuka.
Dari sejarah perkembangan bahasa tulis, keberadaan bahasa fiksi (yang tertulis) sudah teruji. Inilah yang menjadi salah satu pangkal pemikiran para poststrukturalis seperti Barthes atau Derrida untuk memahami bahasa tulis sebagai sebuah teks yang berjejak bukan hanya dari sisi kontinuitasnya dengan beberapa momen, tetapi juga bahkan dari sisi diskontinuitasnya. Hal ini berarti bahwa bahasa tulis pun tidak selalu merepresentasikan sebuah fakta yang juga terbentuk dalam bahasa sehari-hari berdasarkan konvensi atau kebiasaan.

Posted in | 0 komentar

Metode Pendekatan Kritik Sastra Respon Pembaca

Metode pendekatan ini dipusatkan kepada respon dan timbal balik dari pembaca, dalam hal ini peminat dan penikmat karya sastra. Dilihat dari karakter pembaca merespon sebuah karya sastra, maka mereka dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pembaca gelisah dan pembaca pasrah.
Pembaca Gelisah
Pembaca gelisah adalah publik pembaca sebagai penikmat karya sastra apa adanya dan tak mau ambil pusing tentang sastra. Mereka pasrah dininabobokan pengarang, sang diktator. Yang disebut terakhir adalah penikmat sekaligus pemikir serius. Fungsinya mulia, yakni membisiki pekarya sastra agar karyanya lebih berbobot sehingga lebih memukau pembaca. Kritik sastra adalah studi, diskusi, evaluasi, dan interpretasi atas karya sastra. Kritik sastra lantang bicara, sedangkan puisi, cerpen, dan novel seperti halnya arca diam membisu. Kritik sastra mengartikulasikan kebisuan ini.
Bagi peminat sastra, kritik sastra membantu mereka membangun interpretasi sendiri terhadap karya dengan bertambahnya sudut pandang. Agar memiliki satu interpretasi yang mantap, mereka memerlukan berbagai interpretasi. Sebuah karya mungkin dikritik berkali-kali. Beberapa kritik mungkin lebih mencerdaskan dari kritik lainnya. Maka lahirlah kritik atas kritik. Lagi-lagi di sini bermain kuasa subjektivitas. Subjektivitas pembaca menentukan penilaian atas sebuah kritik. Kritik itu sendiri refleksi subjektivitas kritikus terhadap karya. Dan karya yang dikritik pun cerminan subjektivitas penulisnya.
Pembaca Pasrah
Membangun keinginan seseoroang agar tertarik pada sastra adalah panggilan jiwa untuk membaca sebagai pemuas dahaga psikologis. Artinya, pengajaran sastra di sekolah mesti berbeda dari perkuliahan sastra di universitas. Tidaklah tepat siswa ditakut-takuti oleh monster berupa teori-teori dan istilah-istilah teknis sastra yang dihafal dan diuji benar-salah. Pengajaran sastra yang berpihak pada estetika (bukannya efferent) adalah medium untuk menanamkan demokrasi lewat interpretasi liar dan apresiasi jujur.
Sastra berhubungan dengan pengarang, karya sastra, dan pembaca. Ketiga hal ini tidak dapat dipisahkan karena masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Tanpa pengarang tidak akan ada karya sastra, dan tanpa pembaca karya sastra tidak ada artinya. Pembaca dalam memahami dan memaknai suatu karya sastra akan berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan latar belakang pendidikan, pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan pembaca yang berbeda. Segers (dalam Pradopo, 1995:208) mengatakan cakrawala harapan pembaca ditentukan oleh tiga kriteria, yaitu (1) norma-norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca, (2) pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan (3) pertentangan antara fiksi dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami, baik dalam horizon sempit dari harapan-harapan sastra maupun dalam horizon luas dari pengetahuannya tentang kehidupan
Pembaca sebagai pemberi makna terhadap suatu karya sastra dapat dibagi atas beberapa tipe, yaitu the real reader (pembaca yang sebenarnya). Pembaca jenis ini dapat diketahui melalui reaksi-reaksi yang terdokumentasi. Tipe kedua disebut hypothetical reader (pembaca hipotesis). Pembaca ini berada di atas semua kemungkinan aktualisasi teks yang mungkin telah diperhitungkan. Pembaca tipe ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu contemporary reader (pembaca kontemporer atau pembaca masa kini) dan ideal reader (pembaca idial).
The Real Rreader (Pembaca yang Sebenarnya)
Pembaca tipe ini muncul dalam menganalisis pengkajian sejarah tanggapan-tanggapan pembaca, yakni ketika perhatian studi sastra dipusatkan pada cara karya sastra diterima oleh masyarakat yang membaca secara khusus. Penilaian-penilainan apapun mengenai karya sastra juga akan mencerminkan berbagai sikap dan norma pembaca sehingga karya sastra dianggap cermin kode kultural yang mengkondisikan penilainan-penilaian tersebut.
Rekonstruksi terhadap pembaca yang sebenarnya ini tentu saja tergantung pada kelangsungan (hidup) dokumen-dokumen masa kini. Sebagai konsekwensinya, rekonstruksi tersebut sering sangat tergantung pada karya itu sendiri. Yang menjadi masalah adalah apakah suatu rekonstruksi berkaitan dengan pembaca sebenarnya pada masa itu atau secara sederhana mengedepankan peran pembaca dengan berasumsi apa yang diharapkan pengarang.
Hypothetical Reader (Pembaca Hipotesis)
Contemporary Reader (Pembaca Kontemporer)
Pembaca kontemporer memiliki tiga tipe, yaitu ril, historis, dan hipotesis. Yang ril dan hipotesis tergambar dari keberadaan dokumen-dokumen, sedangkan yang hipotesis dari pengetahuan sosial, historis suatu waktu, dan peran pembaca yang tersimpan dalam teks.
Ideal Reader (Pembaca Idial)
Sulit menunjukkan secara tepat dari dan di mana pembaca idial tergambar. Walaupun banyak yang dapat dikatakan untuk mengklaim bahwa pembaca idial cenderung muncul dari otak filolog atau pengkritik sendiri. Meskipun penilaian pengkritik berhadapan dengannya, ia tidak lebih dari seorang pembaca terpelajar.
Seorang pembaca idial harus memiliki sebuah kode yang identik dengan kode pengarang. Para pengarang bagaimanapun secara umum mengkodekan kembali kode-kode umum (yang berlaku) di dalam karya sastra mereka dan dengan demikian, pembaca idial akan dapat memperhatikan berdasarkan proses tersebut. Jika hal ini terjadi, komunikasi akan menjadi sangat berlebihan karena seseorang hanya mengkomunikasikan yang belum dibagi oleh pengirim dan penerima.
Pikiran bahwa pengarang sendiri menjadi pembaca idialnya sendiri seringkali diruntuhkan oleh pernyataan-pernyataan para penulis yang mereka buat atas karya-karya mereka sendiri. Secara umum, sebagai pembaca, mereka sangat sulit membuat pernyatan apa pun tentang dampak penggunaan teks-teks mereka sendiri. Mereka lebih suka berbicara dalam bahasa petunjuk tentang maksud-maksud mereka, strategi-strategi mereka, konstruksi-konstruksi mereka, disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang juga akan menjadi valid bagi masyarakat yang mereka arahkan.
Dalam perkembangan sekarang ini kritik sastra membagi tipe-tipe pembaca menjadi empat, yakni (1) superreader (pembaca pakar); (2) informed reader (pembaca serba tahu); (3) intended reader (pembaca harapan); (4) Implied Reader (pembaca terimplikasi). Setiap tipe pembaca membawa terminologi khusus.
Superreader (Pembaca Pakar)
Tipe pembaca ini selalu muncul bersama-sama isyarat dalam teks dan dengan demikian terbentuk melalui reaksi-reaksi umum mereka atas keberadaan satu fakta stilistik. Superreader mengobjektivasikan gaya atau fakta stilistik sebagai sebuah unsur komunikasi tambahan terhadap unsur utama bahasa. Pembaca ini memberikan bukti bahwa fakta stilistik berdiri di luar konteks sehingga mengarah kekepadatan dalam pesan yang terkodekan yang diterangkan oleh kontras intertekstual yang ditunjukkan oleh superreader.
Informed Reader (Pembaca Serba Tahu)
Informed reader adalah (a) pembicara yang berkompeten terhadap bahasa di luar teks; (b) seseorang yang memiliki pengetahuan yang matang yang dibawa pendengar yang bertugas memahaminya; (c) seseorang yang memiliki kompetensi kesastraan.
Intended Reader (Pembaca Harapan)
Pembaca tipe ini merekonstruksikan pikiran pembaca yang ada dalam pikiran pengarang. Pembaca tipe ini bersifat fiktif. Dengan ciri fiktif ini memungkinkannya merekonstruksikan masyarakat yang ingin dituju oleh pengarang. Pembaca berusaha menandai posisi dan sikap tertentu dalam teks, tetapi belum identik dengan peran pembaca.
Implied Reader (Pembaca Terimplikasi)
Pembaca tipe ini memiliki konsep yang benar-benar tumbuh dari srtuktur teks dan merupakan sebuah konstruksi serta tidak dapat diidentifikasi dengan pembaca nyata. Pembaca merupakan suatu struktur tekstual yang mengantisipasi kehadiran seorang penerima tanpa perlu menentukan siapa dia. Pembaca berusaha memahami teks dari struktur-struktur teks yang ada. Dengan demikian, tidak menjadi masalah siapa pembaca itu, tetapi yang jelas pembaca tipe ini diberi tawaran sebuah peran utama untuk dimainkan, yakni peran pembaca sebagai sebuah struktur tekstual dan peran pembaca sebagai act (tindakan/aturan) yang terstruktur.

Posted in | 0 komentar

kritik sastra psikoanalisis

Psikoanalisis dalam sastra memiliki empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.Yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada pembaca. Namun, yang digunakan dalam psikoanalisis adalah yang ketiga karena sangat berkaitan dalam bidang sastra.
Asal usul dan penciptaan karya sastra dijadikan pegangan dalam penilaian karya sastra itu sendiri. Jadi psikoanalisis adalah studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra.

SEJARAH TEORI PSIKOANALISIS SASTRA
Munculnya pendekatan psikologi dalam sastra disebabkan oleh meluasnya perkenalan sarjana-sarjana sastra dengan ajaran-ajaran Freud yang mulai diterbitkan dalam bahasa Inggris. Yaitu Tafsiran Mimpi ( The Interpretation of Dreams ) danThree Contributions to A Theory of Sex atau Tiga Sumbangan Pikiran ke Arah Teori Seks dalam dekade menjelang perang dunia. Pembahasan sastra dilakukan sebagai eksperimen tekhnik simbolisme mimpi, pengungkapan aliran kesadaran jiwa, dan pengertian libido ala Freud menjadi semacam sumber dukungan terhadap pemberontakan sosial melawan Puritanisme(kerohanian ketat) dan tata cara Viktorianoisme(pergaulan kaku).Dahulu kejeniusan sastrawan selalu menjadi bahan pergunjingan. Sejak zaman Yunani, kejeniusan dianggap kegilaan(madness) dari tingkat neurotik sampai psikosis. Penyair dianggap orang yang kesurupan (possessed). Ia berbeda dengan yang lainnya, dan dunia bawah sadarnya yang disampaikan melalui karyanya dianggap berada di bawah tingkat rasional. Namun, pengarang tidak sekedar mencatat gangguan emosinya ia juga mengolah suatu pola arketipnya, seperti Dostoyevsky dalam karyanya The Brother Kamarazov atau suatu pola kepribadian neurotik yang sudah menyebar pada zaman itu. Kemudian, ilmu tentang emosi dan jiwa itu berkembang dalam penilaian karya sastra.(Psikoanalisis Sastra)


KEGUNAAN PSIKOANALISIS SASTRA
Psikologi atau psikoanalisis dapat mengklasifikasikan pengarang berdasar tipe psikologi dan tipe fisiologisnya. Psikoanalasisis dapat pula menguraikan kelainan jiwa bahkan alam bawah sadarnya. Bukti-bukti itu diambil dari dokumen di luar karya sastra atau dari karya sastra itu sendiri. Untuk menginteprestasikan karya sastra sebagai bukti psikologis, psikolog perlu mencocokannya dengan dokumen-dokumen di luar karya sastra.
Psikoanalisis dapat digunakan untuk menilai karya sastra karena psikologi dapat menjelaskan proses kreatif. Misalnya, kebiasaan pengarang merevisi dan menulis kembali karyanya. Yang lebih bermanfaat dalam psikoanalisis adalah studi mengenai perbaikan naskah, koreksi, dan seterusnya. Hal itu, berguna karena jika dipakai dengan tepat dapat membantu kita melihat keretakan ( fissure ), ketidakteraturan, perubahan, dan distorsi yang sangat penting dalam suatu karya sastra.Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis secara psikologis tokoh-tokoh dalam drama dan novel. Terkadang pengarang secara tidak sadar maupun secara sadar dapat memasukan teori psikologi yang dianutnya. Psikoanalisis juga dapat menganalisis jiwa pengarang lewat karya sastranya.

TOKOH-TOKOH PSIKOANALISIS SASTRA
1. Sigmund Freud, seorang yang sangat berbudaya dan beliau mendapatkan dasar pendidikan Austria yang menghargai karya Yunani dan Jerman Klasik.
2. T.S Elliot
3. Carl.G.Jung.
4. Ribot, psikolog Perancis
5. L.Russu
6. Wordsworth yang menggunakan psikologi sebagai uraian genetik tentang puisi.
7. Tatengkeng, Pujangga Baru. Menyatakan bahwa untuk menulis puisi yang baik penyair harus dalam keadaan jiwa tertentu pula.


PERKEMBANGAN PSIKOANALISIS DI INDONESIA
Dalam sastra Indonesia pendekatan psikologi berkembang sejak tahun enam puluhan, antara lain oleh Hutagalung dan Oemarjati dalam buku pembahasan masing-masing atas Jalan Tak Ada Ujung dan Atheis. Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan pertolongan agar dapat membaca drama atau novel secara benar.

APLIKASI PSIKOANALISIS DALAM KARYA SASTRA
Tokoh-tokoh dalam Drama dan Novel dinilai benar tidaknya secara psikologis. Situasi dan plot menjadi perhatian khusus dalam hal ini. Tokoh dalam cerita harus serasi dengan ceritanya, contoh :
Lily Campbel Mengatakan bahwa tokoh Hamlet cocok dengan Tipe “periang dan optimis yang mengalami tekanan melankolik”. Yakni tipe yang dikenal dalam teori psikologi zaman Elizabeth.
Oscar Campbell Berusaha menunjukan tokoh Jaques dalam drama William Shakespears “As You Like It” adalah kasus melankolik yang timbul akibat tekanan.

Posted in | 0 komentar

kritik sastra marxisme

Pendahuluan
Kritik sastra Marxis didasarkan pada teori politik dan ekonomi filsuf berkebangsaan Jerman, Karl Marx. Pada karya The German Ideology and The Communist Manifesto (Ideologi Jerman dan Manifesto Komunisme), yang ditulis bersama Frederich Engels, Marx menawarkan suatu model historis di mana kondisi-kondisi politik dan ekonomi mempengaruhi kondisi-kondisi sosial. Marx dan Engels menanggapi ketimpangan sosial yang terjadi karena perkembangan Kapitalisme. Secara khusus, teori-teori mereka terbentuk untuk menganalisa bagaimana fungsi masyarakat di dalam keadaan revolusi dan perubahan yang konstan (terus-menerus).

Perspektif Materialis pada Sejarah
Marx dan Engels menggunakan teori dialektika Hegel yang menyatakan bahwa sejarah berlangsung melalui resolusi atas pertentangan di dalam beberapa aspek realitas tertentu dan keduanya mengedepankan deskripsi para materialis tentang sejarah yang berpusat pada pergolakan dan penekanan pada masyarakat. Karena masyarakat membentuk model-model produksi yang rumit, mengakibatkan peningkatan stratifikasi dan ketegangan yang terjadi dan menyebabkan perubahan di dalam masyarakat. Contohnya ialah penggunaan mesin-mesin berat ke dalam sistem ekonomi feodal telah menyebabkan timbulnya struktur sosial dan pergerakan ke arah Kapitalisme.

Dasar dan bentuk superstruktur
Di dalam dialektika sejarah Marx terdapat gagasan yang menyatakan bahwa kehidupan sosial individu dipengaruhi kekuatan politik dan ekonomi. Marx menulis, “bukan kesadaran manusia yang mebentuk realita, tetapi, sebaliknya, realitas sosial yang membentuk kesadaran.” Secara sederhana, kelas sosial seseorang terlahir berdasarkan sudut pandangnya.
Marx, kemudian, memperluas konsep determinasi tersebut sebagai konsep sentral Marxisme—yaitu sistem dasar dan superstruktur. Sistem dasar adalah sistem ekonomi dimana superstruktur berada; aktivitas cultural—termasuk filsafat dan literatur—adalah bagian superstruktur. Pada kritik Marxis, sistem dasar ekonomi masyarakat membentuk atau mempengaruhi kecenderungan dan corak literatur; ini merupakan relasi antara pengaruh sistem dasar dan superstruktur yang keduanya merupakan inti kritik Marxis.

Ideologi
Menurut Marx, karena superstruktur ditentukan oleh nilai dasar, maka bisa dipastikan ia menyokong ideologi-ideologi nilai dasar tersebut. Ideologi-ideologi adalah beberapa ide, gagasan dan kecenderungan yang merubah dan didapat individu melalui kehidupan bermasyarakat. Ia menampilkan nilai-nilai dan gagasan dominan sebagai sistem kepercayaan masyarakat secara keseluruhan, dan juga mencegah individu memandang bagaimana sebenarnya fungsi masyarakat. Literatur, sebagai produk budaya, adalah suatu bentuk ideologi, yang memperkuat kekuasaan kelas atas. Sebagai contoh, pada abad ke-18, literatur telah digunakan oleh sekelompok golongan berbahasa Inggris kelas atas untuk menunjukkan dan memperlihatkan sistem nilai dominan kepada golongan yang lebih rendah.

Georg Lukacs dan Realis Sosial
Ada banyak perbedaan pendapat antarkritikus sastra Marxist berkaitan dengan hubungan antara ideologi dan literatur. Karena sejak adanya karya Marx, teoritikus dan Realis sosial Soviet/Rusia, Georg Lukacs, dan Louis Althusser secara berangsur-angsur telah memodifikasi atau memperluas konsep awal Marx. Realis sosial Soviet percaya bahwa ideologi sebagai bagian superstruktural (bangunan struktural), harus sesuai dan berlandaskan pada nilai dasar ekonomi masyarakat. Menurut mereka, literatur haruslah secara jelas mencerminkan nilai dasar ekonomi sebab ia tidak akan berfungsi ketika bernaung di luar nilai dasar yang sudah jelas atau model superstruktural. Sebagaimana realis sosial dan kritikus Georg Lukacs yang merasakan bahwa hanya format fiksi realistis yang secara artistik dan politis lebih sah dan valid. Tetapi Lukacs dan para realis sosial memiliki perspektif yang terbatas. Mereka tidak sadar telah menyimpang keluar dengan karya mereka termasuk pembacaan literal tentang sistem nilai dan bentuk superstruktural.
Hal ini sangat meragukan bahwa Marx dan Engels menggunakan pendekatan deterministik pada literatur. Di dalam karya mereka, literatur bukanlah melulu suatu refleksi pasif dari dasar-dasar ekonomi. Meskipun mereka mengakui literatur tidak bisa merubah sistem dan masyarakat dengan sendirinya, mereka menganggap bahwa literatur dapat menjadi unsur aktif dalam beberapa perubahan.

Antonio Gramsci
Teoritikus Italia, Antonio Gramsci dengan konsep hegemoninya, mempertimbangkan untuk melakukan pembacaan yang fleksibel pada model sistem dasar dan superstruktur. Gramsci percaya bahwa ideologi tidak dapat menjelaskan tingkatan manusia di dalam menerima nilai-nilai dominan. Dia juga menyadari, dengan kritisi Marxis lainnya bahwa model sistem dasar dan superstruktur sangalah kaku untuk meliputi produk-produk budaya yang tidak menggunakan nilai-nilai dominan.
Sejalan dengan hal tersebut, gagasan hegemoni Gramsci adalah suatu kelanjutan konsep di balik ideologi. Hegemoni adalah sejenis penipuan di mana individu melupakan keinginannya sendiri dan menerima nilai-nilai dominan sebagai pikiran mereka. Sebagai contoh bahwa pada realitas sosial pikiran mereka telah dikonstruksi adalah seseorang berpikir bahwa belajar di perguruan tinggi adalah hal yang benar dan langkah penting dalam kehidupan. Kemudian literatur, mungkin akan dipandang sebagai sesuatu yang menguatkan nilai-nilai dominan dan adakalanya mempertanyakannya. Sebagai contoh, para penulis perempuan tentang fiksi sentimentil pada abad ke-19 menggunakan konvensi naratif tertentu untuk menguatkan nilai-nilai dominan, sementara penulis seperti Jane Austen menggunakan konvensi yang sama untuk mengikis nilai-nilai dominan serupa.

Louis Althusser
Teoritikus Perancis, Louis Althusser mempertimbangkan hubungan antara literatur dan ideologi. Baginya, hal ini juga meliputi pemahaman tentang hegemoni. Althusser menyatakan bahwa ideologi dan hegemoni—seperti halnya literatur—memperlihatkan suatu versi konstruksi realitas, di mana tidak merefleksikan kondisi aktual kehidupan. Jadi, literatur disamping tidak hanya menggambarkan ideologi, namun juga dapat direduksi menjadi bagian dari ideologi. Literatur mungkin dapat diposisikan di dalam ideologi, tetapi juga terdapat jarak antarkeduanya. Hal sedemikian dengan membiarkan pembaca itu untuk memperoleh suatu kesadaran ideologis di mana ia disandarkan. Sebagai contoh, sebuah novel boleh menampilkan dunia dengan segala cara untuk mendukung ideologi- ideologi dominan. Dan sebagai karya fiksi, ia juga harus menampilkan ideologi tersebut. Jadi, sekali lagi, meskipun literatur tidak dapat menrubah masyarakat, ia dapat menjadi bagian dari suatu perubahan.

Konsep Sentral Marxis
Walaupun para kritisi Marxis telah menafsirkan Teori Marx dalam cara berbeda, sebagai Marxis mereka akhirnya tetap kembali pada beberapa konsep sentral Marx: gagasan tentang keadaan sosial mempengaruhi kesadaran, dan sistem dasar atau bentuk superstruktur. contohnya, Kritikus Inggris, Raymond Williams menggunakan beberapa istilah sebagai budaya peninggalan dan budaya berkembang untuk merubah sistem dasar atau bentuk superstruktur, bukan mempertanyakannya. Sepintas, istilah-istilah seperti hegemoni, yang bukan bagian dari Teori Marx, digunakan kritikus untuk memenuhi aplikasi Konsep Marxis yang lebih besar.
Marxisme dan Literatur
Kritik sastra Marxis lebih cenderung pada tekanan-tekanan dan kontradiksi di dalam karya sastra. Hal Ini sesuai sebab Marxisme pada awalnya dirumuskan untuk menganalisa suatu tekanan dan pertentangan di dalam masyarakat. Kritik sastra Marxis juga memandang literatur sangat dekat terhubung dengan kekuatan sosial dan analisa mereka atas literatur yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan sosial paling besar. Sejak Marxisme sebagai sistem kepercayan yang dapat digunakan untuk analisa masyarakat pada tingkat level paling besar dan terperinci, Kritik sastra Marxis sejatinya adalah bagian dari upaya dan usaha besar untuk membongkar bagian dalm masyarakat.

Marxisme dan Teori Lain
Kritik sastra Marxis dapat dianggap sebagai reaksi pada teori-teori rigid para New Critics (Kritisi Baru). Tidak seperti mereka, yang memandang teks sebagai kesatuan yang utuh, Marxis secara umum memusatkan pada tensi (ketegangan) yang tak terpecahkan dalam karya literatur.
Walaupun kritik Marxis sama-sama mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kritik Strukturalis dan kritik post-strukturalis, ia sangatlah berbeda di dalam penolakan untuk memisahkan literatur dan bahasa dari masyarakat. Krtitk Marxis adalah materialis, karena itu ia lebih umum dengan teori yang berpusat pada bagaimana fungsi literatur di dalam sosial, politik dan strukutr ekonomi dibandingkan dengan teori yang hanya bertumpu pada teks. Kritik Marxis mempunyai pengaruh besar pada feminisme, historisisme baru, dan cultural studies (studi kultural).
Sebagai sistem yang mencari sebab di bawah permukaan masyarakat, kritik Marxis mempunyai kesamaan secara umum dengan kritik psikoanalisa. Faktanya, adalah kemungkinan untuk membuat perbandingan tajam antara corak Dasar dan Superstruktur Marxis dan pemikiran Freudian tentang ketidaksadaran dan kesadaran.

Referensi
Eagleton, Terry. Marxism and Literary Criticism. London: Metheun Books, 1976.
Selden, Ramden. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory. Lexington: University Press of Kentucky, 1985.
Williams, Raymond. Marxism and Literatur. Oxford: Oxford University Press, 1977.

Posted in | 0 komentar

kritik sastra feminis

KRITIK sastra feminis atau KSF diperkenalkan salah satunya oleh Soenardjati Djajanegara, untuk menyebut disiplin ilmu kritik sastra yang lahir sebagai respon atas berkembangluasnya feminisme di dunia. KSF muncul ketika citra perempuan di dalam karya sastra hampir selalu ditempatkan sebagai korban, bersifat sentimentalis, dan memiliki kepekaan spiritualitas di tengah kekuasaan laki-laki yang mengungkung.

Menurut Djajanegara (2003:27) Kemunculan kritik sastra ini berawal dari hasrat pertama yang mendorong munculnya gerakan feminisme dalam sastra adalah adanya kesadaran dari kaum perempuan bahwa dalam sastra pun perempuan masih tampak sebagai pihak yang tersubordinasi.

Sedangkan menurut Sugihastuti (2005:29), kritik sastra feminis yang mempunyai definisi sebagai kajian sastra yang mengarahkan pada fokus analisis perempuan muncul dari adanya kenyataan bahwa di dalam karya sastra terdapat permasalahan gender.

Tujuan KSF sebagai pendekatan terhadap karya sastra yang berbasis gender salah satunya adalah untuk mengeksplorasi konstruksi-konstruksi kultural dari gender dan identitas perempuan. Sementara, seperti yang dikutip Sugihastuti (2003:68) pada teori Kuiper diantaranya (1) untuk mengritik kanon karya sastra Barat dan untuk menyoroti hal-hal yang bersifat standar yang didasarkan pada budaya patriarki; (2) untuk menampilkan teks-teks yang terlupakan dan yang diremehkan yang dibuat oleh perempuan; (3) untuk mengokohkan gynocritisme, studi tulisan-tulisan yang dipusatkan pada perempuan, dan untuk mengokohkan kanon perempuan; serta (4) untuk mengeksploitasi konstruksi-konstruksi kultural dari gender dan identitas

Posted in | 0 komentar

Strukturalisme

Strukturalisme lahir dari perkembangan di berbagai bidang (Dosse, 1998). Telah terjadi pergeseran dari struktur sosial menuju struktur linguistik yang biasa dikenal dengan Linguistic Turn. Fokus ilmuwan sosial bergeser dari struktur sosial kepada bahasa.

Jadi berbicara mengenai strukturalisme, ada yang kurang rasanya jika kita tidak membahas mengenai bahasa. Bahasa memainkan peranan penting dalam teori tindakan, perspektif ini menyatakan bahasa adalah wahana yang memberikan kita kemampuan untuk mengkomunikasikan makna-makna kita kepada orang lain dan karenanya membangun keteraturan sosial. (Pip Jones, 2009)

Bagi teori tindakan, bahasa dan kemampuan menggunakannya mencerminkan ciri pembeda dalam kehidupan manusia; bahasa mendemonstrasikan kesadaran dan kemampuan kita untuk mengiterpretasi, dan melekatkan makna, dunia di sekitar kita.

Bahasa mendefinisikan realitas sosial. Bahasa tidak merefleksikan ‘realitas’, tapi sebaliknya, realitas justru dikonstruksi lewat struktur-struktur yang dikendalikan bahasa. Karena bahasa menciptakan dunia sebagaimana yang dipahami oleh para aktor.

Bahasa akhirnya menjadi sasaran perhatian paling populer dalam penelitian etnometodologi dan yang paling menonjol pada analisis percakapan. Argumennya adalah bahwa percakapan mempresentasikan makna simbolik yang utama, yang digunakan oleh orang-orang yang terlibat untuk mengkonstruksi keteraturan dalam situasi sosial, bagaimana konstruksi dibangun, harus dipahami oleh sosiolog yang menaruh perhatian pada bidang ini. (Pip Jones, 2009)

Strukturalisme juga menjelaskan pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang bebas dan terlepas dari aturan maupun struktur yang ada. Namun dengan munculnya paham Strukturalis maka kini manusia punya aturan yang baku dan jelas. Hal ini merupakan protes atas reaksi bahwa Eropa menempatkan manusia sebagai makhluk yang bebas.

Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.

Strukturalisme lebih tertarik untuk berbicara tentang praktek-praktek penandaan dimana makna merupakan produk dari struktur atau regularitas-regularitas yang dapat diramalkan yang terletak di luar jangkauan manusia (human agents).

Ferdinand de Saussure (1857-1913), yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa, yang juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem tanda atau simbol dalam kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural. De Saussure mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan, dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu tuli, upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan lain sebagainya. Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga munculnya simbol-simbol atau tanda-tanda (termasuk didalmnya upacara-upacara, tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk sistem bahasa.

Gagasan terpenting yana dimunculkan De Saussure adalah Langue dan Parole. Langue dan parole. Menurut Saussure, langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada individu. Eksistensi langue memungkinkan adanya parole, seperti yang kita ketahui bahwa parole adalah wicara aktual, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya. (George Ritzer, 2004).

Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung secara lancar. Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat.

Dari beberapa penjelasan di atas, ada salah satu pertanyaan penting untuk kita semua selaku ilmuwan sosial. Apakah kita bisa mengidentifikasi sebuah permasalahan sosial atau masyarakat secara terstruktur dan hanya melihat dari penggunaan bahasa ?

Strukturalisme memandang permasalahan sosial secara obyektif hal ini dapat dikaitkan dengan struktur yang telah dibuat, dimana dalam struktur itu juga terdapat sebuah konsensus atau sebuah kesepakatan bersama. Dalam metode penelitan biasanya lebih condong kepada penelitian kualitiatif.

Pada dasarnya pembahasan strukturalisme ini bisa dikaji dari bahasa, budaya dan ideologi seperti yang dijelaskan oleh Levi Strasuss dan Loui Althousser.

Posted in | 0 komentar

Pengertian Pragmatik

Pengertian Pragmatik
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi (Leech, 1993: 1). Leech (1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).
Pragmatik sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling tidak dapat diedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, (2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian pertama masih dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa atau disebut ‘fungsi komunikatif’ (Purwo, 1990:2).
Pragmatik ialah berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993: 177). Menurut Levinson (1983: 9), ilmu pragmatik didefinisikan sebagai berikut:
(1) “Pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa”. Di sini, “pengertian/pemahaman bahasa” menghunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaiannya.
(2) “Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahsa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu”.
(Nababan, 1987: 2)

Pragmatik juga diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 1993: 177). Menurut Verhaar (1996: 14), pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar, dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal “ekstralingual” yang dibicarakan.
Purwo (1990: 16) mendefinisikan pragmatik sebagai telaah mengenai makna tuturan (utterance) menggunakan makna yang terikat konteks. Sedangkan memperlakukan bahasa secara pragmatik ialah memperlakukan bahasa dengan mempertimbangkan konteksnya, yakni penggunaannya pada peristiwa komunikasi (Purwo, 1990: 31).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan tentang batasan pragmatik. Pragmatik adalah suatu telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi peserta tutur dalam menafsirkan kalimat atau menelaah makna dalam kaitannya dengan situasi ujaran.

Fenomena Pragmatik
Kancah yang dijelajahi pragmatik ada empat: (a) deiksis, (b) praanggapan (presupposition), (c) tindak ujaran (speech acts), dan (d) implikatur percakapan (conversational implicature) (Purwo, 1990: 17).
Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen yang berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Deiksis dapat juga diartikan sebagai suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan (Cahyono, 1995: 217).
Praanggapan (presupposition) adalah apa yang diasumsikan oleh penutur sebagai hal yang benar atau hal yang diketahui pendengar (Cahyono, 1995: 219). Menurut Nababan (1987: 46), praanggapan adalah dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar/penerima bahasa itu, dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat, dsb) yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud. Nababan memberikan contoh penggunaan presuposisi sebagai berikut:
(1) Wanita Indonesia membeli burung.
terdapat praanggapan bahwa:
(3.1) Ada seorang wanita Indonesia, dan
(3.2) Ada burung.
Jika kedua praanggapan itu diterima, maka kalimat (3) mempunyai makna atau dapat dimengerti pendengar/pembaca.
Tindak ujaran (speech acts) ialah pengucapan suatu kalimat di mana si pembicara tidak semata-mata menanyakan atau meminta jawaban tertentu, tetapi ia juga menindakkan sesuatu (Purwo, 1990: 19). Searle di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language (1969: 23-24) dalam Wijana (1996: 17-22), mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yakni:
1. Tindak lokusi, yaitu tindak tutur untuk menyatakan sesuatu.
Sebagai contoh:
(4) Jari tangan jumlahnya lima.
Kalimat (4) di atas, diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya.
2. Tindak ilokusi, yaitu sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Contoh:
(5) Saya tidak dapat datang.
Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa, bila kalimat itu diutarakan oleh seseorang kepada temannya yang baru saja merayakan ulang tahun, tidak hanya berfungsi untuk menyatakan sesuatu, tetapi untuk melakukan sesuatu, yakni meminta maaf.
3. Tindak perlokusi, yaitu sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Sebagai contoh:
(6) Kunjungilah restoran Oshin!
Tersedia bermacam-macam masakan Jepang, Cina, dan Eropa.
Tempat ideal untuk bersantai bersama keluarga, handai taulan, dan rekan sekerja Anda. Dijamin halal.

Dalam wacana di atas, ditemukan penggunaan tindak perlokusi. Ini dapat diketahui karena penutur -pengelola restoran- selain mengatakan mengelola masakan ala Jepang, Cina dan Eropa juga meyakinkan pendengar/pembaca bahwa masakannya benar-benar halal.
Implikatur percakapan (conversational implicature) merupakan konsep yang cukup penting dalam pragmatik karena empat hal (Levinson, 1983: 97). Pertama, konsep implikatur memungkinkan penjelasan fakta-fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori linguistik. Kedua, konsep implikatur memberikan penjelasan tentang makna berbeda dengan yang dikatakan secara lahiriah. Ketiga, konsep implikatur dapat menyederhanakan struktur dan isi deskripsi semantik. Keempat, konsep implikatur dapat menjelaskan beberapa fakta bahasa secara tepat. Sebagai contoh:
(7) A : Jam berapa sekarang?
B : Korannya sudah datang.

Tampaknya kalimat (7A) dan (7B) tidak berkaitan secara konvensional. Namun pembicara kedua sudah mengetahui bahwa jawaban yang disampaikannya sudah cukup untuk menjawab pertanyaan pembicara pertama, sebab dia sudah mengetahui jam berapa koran biasa diantarkan.
Dari keempat bidang kajian pragmatik tersebut pada akhirnya dapat digunakan untuk memahami makna sesuai dengan konteks yang terjadi. dalam penelitian ini. Kajian pragmatik tersebut digunakan untuk memahami makna dan fungsi deiksis pronomina persona.

Deiksis
1. Pengertian Deiksis
Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘menunjuk’ atau ‘menunjukkan’. Dalam KBBI (1991: 217), deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya.
Deiksis adalah kata-kata yang memiliki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana, 1998: 6). Menurut Bambang Yudi Cahyono (1995: 217), deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakekat tertentu dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan.
Deiksis dapat juga diartikan sebagai lokasi dan identifikasi orang, objek, peristiwa, proses atau kegiatan yang sedang dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak bicara (Lyons, 1977: 637 via Djajasudarma, 1993: 43). Menurut Bambang Kaswanti Purwo (1984: 1) sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik terdapat pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frase yang menunjuk kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan. Rujukan semacam itu oleh Nababan (1987: 40) disebut deiksis (Setiawan, 1997: 6).
Pengertian deiksis dibedakan dengan pengertian anafora. Deiksis dapat diartikan sebagai luar tuturan, dimana yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri, sedangkan anafora merujuk dalam tuturan baik yang mengacu kata yang berada di belakang maupun yang merujuk kata yang berada di depan (Lyons, 1977: 638 via Setiawan, 1997: 6).
Berdasarkan beberapa pendapat, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora.
Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata deiktis. Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata saya, sini, sekarang baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah penutur.

2. Jenis Deiksis
Deiksis ada lima macam, yaitu deiksis orang, deiksis tempat, deiksis waktu, deiksis wacana dan deiksis sosial (Nababan, 1987: 40).

a. Deiksis Persona
Istilah persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya topeng (topeng yang dipakai seorang pemain sandiwara), berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa (Lyons, 1977: 638 via Djajasudarma, 1993: 44).
Deiksis orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya saya, kita, dan kami. Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan mereka.
Kata ganti persona pertama dan kedua rujukannya bersifat eksoforis. Hal ini berarti bahwa rujukan pertama dan kedua pada situasi pembicaraan (Purwo, 1984: 106). Oleh karenanya, untuk mengetahui siapa pembicara dan lawan bicara kita harus mengetahui situasi waktu tuturan itu dituturkan. Apabila persona pertama dan kedua akan dijadikan endofora, maka kalimatnya harus diubah, yaitu dari kalimat langsung menjadi kalimat tidak langsung. (Setiawan, 1997: 8).
Bentuk pronomina persona pertama jamak bersifat eksofora. Hal ini dikarenakan bentuk tersebut, baik yang berupa bentuk kita maupun bentuk kami masih mengandung bentuk persona pertama tunggal dan persona kedua tunggal.
Berbeda dengan kata ganti persona pertama dan kedua, kata ganti persona ketiga, baik tunggal, seperti bentuk dia, ia, -nya maupun bentuk jamak, seperti bentuk sekalian dan kalian, dapat bersifat endofora dan eksofora. Oleh karena bersifat endofora, maka dapat berwujud anafora dan katafora (Setiawan, 1997: 9).
Deiksis persona merupakan deiksis asli, sedangkan deiksis waktu dan deiksis tempat adalah deiksis jabaran. Menurut pendapat Becker dan Oka dalam Purwo (1984: 21) bahwa deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis ruang dan tempat serta waktu.

b. Deiksis Tempat
Deiksis tempat ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut peserta dalam peristiwa bahasa. Semua bahasa -termasuk bahasa Indonesia- membedakan antara “yang dekat kepada pembicara” (di sini) dan “yang bukan dekat kepada pembicara” (termasuk yang dekat kepada pendengar -di situ) (Nababan, 1987: 41). Sebagai contoh penggunaan deiksis tempat.
(8) a. Duduklah kamu di sini.
b. Di sini dijual gas Elpiji.
Frasa di sini pada kalimat (8a) mengacu ke tempat yang sangat sempit, yakni sebuah kursi atau sofa. Pada kalimat (8b), acuannya lebih luas, yakni suatu toko atau tempat penjualan yang lain.
c. Deiksis Waktu
Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Dalam banyak bahasa, deiksis (rujukan) waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala” (Inggris: tense) (Nababan, 1987: 41). Contoh pemakaian deiksis waktu dalam bahasa Inggris.
(9) a. I bought a book.
b. I am buying a book.
Meskipun tanpa keterangan waktu, dalam kalimat (9a) dan (9b), penggunaan deiksis waktu sudah jelas. Namun apabila diperlukan pembedaan/ketegasan yang lebih terperinci, dapat ditambahkan sesuatu kata/frasa keterangan waktu; umpamanya, yesterday, last year, now, dan sebagainya. Contoh dalam bahasa Inggris:
(10) a. I bought the book yesterday.
b. I bought the book 2 years ago.

d. Deiksis Wacana
Deiksis wacana ialah rujukan pada bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan atau sedang dikembangkan (Nababan, 1987: 42). Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Anafora ialah penunjukan kembali kepada sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya dalam wacana dengan pengulangan atau substitusi. Katafora ialah penunjukan ke sesuatu yang disebut kemudian. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah, dsb. Sebagai contoh.
(11) a. Paman datang dari desa kemarin dengan membawa hasil palawijanya.
b. Karena aromanya yang khas, mangga itu banyak dibeli.

Dari kedua contoh di atas dapat kita ketahui bahwa -nya pada contoh (11a) mengacu ke paman yang sudah disebut sebelumnya, sedangkan pada contoh (11b) mengacu ke mangga yang disebut kemudian.

e. Deiksis Sosial
Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran pembicara dan pendengar. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Dalam beberapa bahasa, perbedaan tingkat sosial antara pembicara dengan pendengar yang diwujudkan dalam seleksi kata dan/atau sistem morfologi kata-kata tertentu (Nababan, 1987: 42). Dalam bahasa Jawa umpamanya, memakai kata nedo dan kata dahar (makan), menunjukkan perbedaan sikap atau kedudukan sosial antara pembicara, pendengar dan/atau orang yang dibicarakan/bersangkutan. Secara tradisional perbedaan bahasa (atau variasi bahasa) seperti itu disebut “tingkatan bahasa”, dalam bahasa Jawa, ngoko dan kromo dalam sistem pembagian dua, atau ngoko, madyo dan kromo kalau sistem bahasa itu dibagi tiga, dan ngoko, madyo, kromo dan kromo inggil kalau sistemnya dibagi empat. Aspek berbahasa seperti ini disebut “kesopanan berbahasa”, “unda-usuk”, atau ”etiket berbahasa” (Geertz, 1960 via Nababan, 1987: 42-43).

C. Bentuk Pronomina Persona
Jika ditinjau dari segi artinya, pronomina adalah kata yang dipakai untuk mengacu ke nomina lain. Jika dilihat dari segi fungsinya, dapat dikatakan bahwa pronomina menduduki posisi yang umumnya diduduki oleh nomina, seperti subjek, objek, dan -dalam macam kalimat tertentu- juga predikat. Ciri lain yang dimiliki pronomina ialah acuannya dapat berpindah-pindah karena bergantung pada siapa yang menjadi pembicara/penulis, yang menjadi pendengar/pembaca, atau siapa/apa yang dibicarakan (Moeliono, 1997: 170).
Dalam bahasa Inggris dikenal tiga bentuk kata ganti persona, yaitu persona pertama, persona kedua dan persona ketiga (Lyons, 1997: 276 via Setiawan, 1997: 9). Bahasa Indonesia juga mengenal tiga bentuk persona seperti dalam bahasa Inggris (P&P, 1988: 172 via Setiawan, 1997: 9).
Pronomina persona adalah pronomina yang dipakai untuk mengacu ke orang. Pronomina dapat mengacu pada diri sendiri (persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (persona ketiga) (Moeliono, 1997: 172). Berikut ini adalah pronomina persona yang disajikan dalam tabel.

Tabel 1: Pronomina Persona
Persona Makna
Tunggal Jamak
Netral Eksklusif Inklusif
Pertama saya, aku, daku, ku-, -ku kami kita
Kedua engkau, kamu, Anda, dikau, kau-, -mu kalian, kamu (sekalian), Anda (sekalian)
Ketiga ia, dia, beliau, -nya mereka, -nya


a) Pronomina Persona Pertama
Dalam Bahasa Indonesia, pronomina persona pertama tunggal adalah saya, aku, dan daku. Bentuk saya, biasanya digunakan dalam tulisan atau ujaran yang resmi. Bentuk saya, dapat juga dipakai untuk menyatakan hubungan pemilikan dan diletakkan di belakang nomina yang dimilikinya, misalnya: rumah saya, paman saya. Pronomina persona pertama aku, lebih banyak digunakan dalam situasi non formal dan lebih banyak menunjukkan keakraban antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca. Pronomina persona aku mempunyai variasi bentuk, yaitu -ku dan ku-. Sedangkan untuk pronomina persona pertama daku, pada umumnya digunakan dalam karya sastra.
Selain pronomina persona pertama tunggal, bahasa Indonesia mengenal pronomina persona pertama jamak, yakni kami dan kita. Kami bersifat eksklusif; artinya, pronomina itu mencakupi pembicara/penulis dan orang lain dipihaknya, tetapi tidak mencakupi orang lain dipihak pendengar/pembacanya. Sebaliknya, kita bersifat inklusif; artinya, pronomina itu mencakupi tidak saja pembicara/penulis, tetapi juga pendengar/pembaca, dan mungkin pula pihak lain.

b) Pronomina Persona Kedua
Pronomina persona kedua tunggal mempunyai beberapa wujud, yakni engkau, kamu Anda, dikau, kau- dan -mu. Pronomina persona kedua engkau, kamu, dan -mu, dapat dipakai oleh orang tua terhadap orang muda yang telah dikenal dengan baik dan lama; orang yang status sosialnya lebih tinggi; orang yang mempunyai hubungan akrab, tanpa memandang umur atau status sosial.
Pronomina persona kedua Anda dimaksudkan untuk menetralkan hubungan. Selain itu, pronomina Anda juga digunakan dalam hubungan yang tak pribadi, sehingga Anda tidak diarahkan pada satu orang khusus; dalam hubungan bersemuka, tetapi pembicara tidak ingin bersikap terlalu formal ataupun terlalu akrab.
Pronomina persona kedua juga mempunyai bentuk jamak, yaitu bentuk kalian dan bentuk pronomina persona kedua ditambah sekalian: Anda sekalian, kamu sekalian. Pronomina persona kedua yang memiliki varisi bentuk hanyalah engkau dan kamu. Bentuk terikat itu masing-masing adalah kau- dan -mu.

c) Pronomina Persona Ketiga
Pronomina persona ketiga tunggal terdiri atas ia, dia, -nya dan beliau. Dalam posisi sebagai subjek, atau di depan verba, ia dan dia sama-sama dapat dipakai. Akan tetapi, jika berfungsi sebagai objek, atau terletak di sebelah kanan dari yang diterangkan, hanya bentuk dia dan -nya yang dapat muncul. Pronomina persona ketiga tunggal beliau digunakan untuk menyatakan rasa hormat, yakni dipakai oleh orang yang lebih muda atau berstatus sosial lebih rendah daripada orang yang dibicarakan. Dari keempat pronomina tersebut, hanya dia, -nya dan beliau yang dapat digunakan untuk menyatakan milik.
Pronomina persona ketiga jamak adalah mereka. Pada umumnya mereka hanya dipakai untuk insan. Benda atau konsep yang jamak dinyatakan dengan cara yang lain; misalnya dengan mengulang nomina tersebut atau dengan mengubah sintaksisnya.
Akan tetapi, pada cerita fiksi atau narasi lain yang menggunakan gaya fiksi, kata mereka kadang-kadang juga dipakai untuk mengacu pada binatang atau benda yang dianggap bernyawa. Mereka tidak mempunyai variasi bentuk sehingga dalam posisi mana pun hanya bentuk itulah yang dipakai, misalnya usul mereka, rumah mereka.

D. Makna Deiksis Pronomina Persona
Menurut Kridalaksana (2001: 132), makna adalah maksud pembicaran; pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia; hubungan, dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa dan alam di luar bahasa, atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuknya; cara menggunakan lambang-lambang bahasa.
Ferdinand de Saussure membagi setiap tanda linguistik menjadi dua, yaitu: (1) yang diartikan (Perancis: signifie, Inggris: signified) dan (2) yang mengartikan (Perancis: signifiant, Inggris: signifier). Yang diartikan (signifie) sebenarnya adalah konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi, sedangkan yang mengartikan (signifiant) adalah bunyi-bunyi yang terentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan. Jadi, dengan kata lain setiap tanda-linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah unsur dalam-bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan unsur luar-bahasa (ekstralingual) (Chaer, 1995: 29).
Hubungan antara tanda linguistik (bersama unsur bunyi dan makna) dengan unsur referennya, dapat dibagankan sebagai berikut.


(b) konsep/makna


(a) kata/leksem (c) sesuatu yang dirujuk (referen)
Hubungan antara (a) dan (c) bersifat tidak langsung, sebab (a) adalah masalah dalam-bahasa dan (c) masalah luar-bahasa yang hubungannya biasanya bersifat arbitrer. Sedangkan hubungan (a) dan (b) serta hubungan (b) dan (c) bersifat langsung. Titik (a) dan (b) sama-sama berada di dalam-bahasa; hubungan (b) dan (c) bahwa (c) adalah acuan dari (b) tersebut.
Ada teori yang menyatakan bahwa makna itu tidak lain daripada sesuatu atau referen yang diacu oleh kata atau leksem itu. Hanya perlu dipahami bahwa tidak semua kata atau leksem itu mempunyai acuan konkret di dunia nyata. Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata makna kata atau leksem itu seringkali, dan mungkin juga biasanya, terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga acuannya. Oleh karena itu, banyak pakar yang mengatakan bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya, dan makna kalimat baru dapat ditentukan apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya (Chaer, 1994: 288).
Bila dilihat dari segi atau pandangan yang berbeda, makna bahasa dapat terdiri dari bermacam-macam jenisnya. Pateda (1986) melalui Chaer (1995: 59) mengemukakan adanya jenis-jenis makna, yaitu makna afektif, makna denotatif, makna deskriptif, makna ekatensi, makna emotif, makna gereflekter, makna idesional, makna intensi, makna gramatikal, makna kiasan, makna kognitif, makna kolokasi, makna konotatif, makna konseptual, makna konstruksi, makna leksikal, makna luas, makna piktorial, makna proposisional, makna pusat, makna referensial, makna sempit, makna stilistika, dan makna tematis. Sedangkan Leech (1976) membedakan adanya tujuh tipe makna, yaitu (1) makna konseptual, (2) makna konotatif, (3) makna stilistika, (4) makna afektif, (5) makna reflektif, (6) makna kolokatif, dan (7) makna tematik (Chaer, 1995: 59).
Chaer (1994) membagi jenis makna menjadi tigabelas, yaitu makna leksikal, makna gramatikal, makna kontekstual, makna referensial, makna non-referensial, makna denotatif, makna konotatif, makna konseptual, makna asosiatif, makna kata, makna istilah, makna idiom, dan makna pribahasa.
Menurut Djajasudarma (1993: 6), makna terdiri atas beberapa jenis, yaitu: makna sempit, makna luas, makna kognitif, makna konotatif/emotif, makna gramatikal, makna leksikal, makna konstruksi, makna referensial, makna majas (kiasan), makna inti, makna idesional, makna proposisi, makna piktorial.
Makna sempit (narrowed meaning) adalah makna yang lebih sempit dari keseluruhan ujaran (Djajasudarma, 1993: 7). Perhatikan contoh.
(12) ”Apakah saudara tidak mau mengakuinya?” kata Pak Polisi.
(Konteks: seorang pencuri yang sedang diinterogasi oleh polisi atas tuduhan pencurian).
(13) Saudara saya yang dari Bandung akan datang hari ini.
(Konteks: penutur memiliki saudara sepupu yang tinggal di Bandung, dan akan datang ke rumah penutur).

Kata saudara pada kalimat (12) dengan (13) mengalami perubahan makna, yaitu maknanya akan menyempit (memiliki makna sempit). Pada kalimat (12), kata saudara bermakna ‘panggilan pada seseorang’, sedangkan pada kalimat (13) saudara bermakna sempit ‘kerabat’.

Makna luas (widened meaning atau extended meaning) adalah makna yang terkandung pada sebuah kata lebih luas dari yang diperkirakan (Djajasudarma, 1993: 8). Berbeda dengan kata-kata yang bermakna sempit, kata-kata yang bermakna luas digunakan untuk mengungkapkan gagasan atau ide yang umum. Sebagai contoh.
(14) “Bapak sedang sakit, sekarang,” kata Ibu.
(Konteks: seorang Ibu yang memberitahuan keadaan suaminya kepada anaknya).
(15) “Bapak Kepala Sekolah sedang mengadakan rapat dengan para guru,” kata salah seorang staf karyawan.
(Konteks: diberitahukan bahwa pimpinan sekolah sedang mengadakan rapat dengan para guru sekolah tersebut).
Penggunaan kata Bapak pada kalimat (14) dengan (15) mengalami perubahan makna, dari makna sempit ke makna meluas. Pada kalimat (14) kata Bapak bermakna sempit ‘orang tua kandung’, sedangkan pada kalimat (15) kata Bapak bermakna luas ‘panggilan untuk laki-laki dewasa’.
Makna kognitif disebut juga makna deskriptif atau denotatif adalah makna yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan (Djajasudarma, 1993: 9). Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem (Chaer, 1994: 292). Makna denotatif juga dapat diartikan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya (Chaer, 1995: 66). Sebagai contoh.
(16) Dian adalah salah satu mahasiswa jurusan bahasa Indonesia.
Pada kalimat (16) di atas, makna denotatif nampak pada penggunaan kata Dian, yang mengacu pada seseorang yang mempunyai nama Dian.
Makna konotatif muncul sebagai akibat asosiasi perasaan kita terhadap apa yang diucapkan atau apa yang didengar. Makna konotatif adalah makna yang muncul dari makna kognitif (lewat makna kognitif), ke dalam makna kognitif tersebut ditambahkan komponen makna lain (Djajasudarma, 1993: 9).
Makna referensial adalah makna sebuah kata atau leksem yang mempunyai referen atau acuannya. Menurut Djajasudarma (1993: 11), makna referensial adalah makna yang berhubungan langsung dengan kenyataan atau referen (acuan). Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata yang disebut kata-kata deiktik yang acuannya tidak menetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu kepada maujud yang lain (Chaer, 1994: 291). Sebagai contoh.
(17) A: “Kemarin saya bertemu dengan Ibu Ani,” kata Dian kepada Dani.
B: “Benarkah?” sahut Dani. “Saya juga bertemu beliau kemarin.”
Dari contoh di atas, jelas bahwa, pada kalimat (17A) kata saya mengacu pada Dian, sedangkan pada kalimat (17B) kata saya mengacu pada Dani.
Berbeda dengan makna referensial, makna non-referensial merupakan makna sebuah kata yang tidak mempunyai acuan atau referen. Misalnya kata-kata seperti dan, atau, dan karena.
Makna konstruksi (construction meaning) adalah makna yang terdapat di dalam konstruksi, misalnya, makna milik yang diungkapkan dengan urutan kata di dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, makna milik dapat diungkapkan melalui enklitik sebagai akhiran yang menunjukkan kepunyaan (Djajasudarma, 1993: 12). Perhatikan contoh berikut.
(18) Rumahnya jauh dari sini.
Pada kalimat (18) di atas, enklitik -nya digunakan untuk menyatakan milik atau kepunyaan, dalam hal ini adalah rumah.
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apa pun (Chaer, 1994: 289). Makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Atau juga dikatakan makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita (Chaer 1995: 60). Sebagai contoh.
(19) a. Tikus itu mati diterkam kucing.
b. Yang menjadi tikus di gudang kami ternyata berkepala hitam.
Kata tikus pada kalimat (19a) merupakan makna leksikal karena jelas merujuk kepada binatang tikus, sebangsa bintang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Namun, dalam kalimat (19b) kata tikus bukanlah dalam makna leksikal karena tidak merujuk kepada binatang tikus melainkan kepada seorang manusia, yang pebuatannya memang mirip dengan perbuatan tikus.
Makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi (Chaer, 1995: 62). Sebagai contoh.
(20) a. Adik menendang bola.
b. Adik menulis surat.
Dari contoh di atas, dapat kita ketahui bahwa kedua kalimat tersebut dapat melahirkan makna gramatikal. Kalimat (20a) menunjukkan kata adik bermakna ‘pelaku’, menendang bermakna ‘aktif’, dan bola bermakna ‘sasaran’. Kalimat (20b) menunjukkan kata adik bermakna ‘pelaku’, menulis bermakna ‘aktif’, dan surat bermakna ‘hasil’.
Makna pusat adalah makna yang dimiliki setiap kata yang menjadi inti ujaran. Setiap ujaran (klausa, kalimat, wacana) memiliki makna yang menjadi pusat (inti) pembicaraan (Djajasudarma, 1993: 15). Perhatikan contoh berikut.
(21) Ali adalah seorang laki-laki.
Pada contoh kalimat (21) di atas, yang menjadi pusat (inti) pembicaraan adalah Ali sedangkan untuk adalah seorang laki-laki merupakan bagian untuk menerangkan kata Ali.
Makna piktorial adalah makna suatu kata yang berhubungan dengan perasaan pendengar atau pembaca. Perasaan muncul segera setelah mendengar atau membaca suatu ekspresi yang menjijikan, atau perasaan benci. Perasaan dapat pula berupa perasaan gembira di samping perasaan yang disebutkan di atas (Djajasudarma, 1993: 16). Sebagai contoh.
(22) a. Kenapa kau sebut nama dia.
b. Ia tinggal di gang yang becek itu.
Dari kedua contoh di atas, dapat kita lihat bahwa pada kalimat (22a) dan (22b) memunculkan makna piktorial. Kalimat (22a) mengungkapkan perasaan benci penutur terhadap seseorang, yang diucapkan oleh lawan tuturnya. Pada kalimat (22b) dapat dilihat adanya makna piktorial dengan perasaan jijik.
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam satu konteks (Chaer, 1994: 290). Sebagai contoh, dapat kita lihat penggunaan kata kepala pada kalimat-kalimat berikut.
(23) a. Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
b. Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
c. Nomor teleponnya ada pada kepala surat itu.
Dari ketiga kalimat di atas, penggunaan kata kepala mempunyai makna konteks yang berbeda. Pada kalimat (23a), kata kepala bermakna ‘bagian anggota tubuh’; kalimat (23b), kata kepala bermakna ‘pimpinan’; dan pada kalimat (23c), kata kepala bermakna ‘bagian atas surat’.
Menurut Alieva, dkk dalam bukunya yang berjudul “Bahasa Indonesia, Deskripsi dan Teori”, makna terdiri dari makna timbal balik dan makna kebersamaan. Makna timbal balik dan makna kebersamaan dibentuk dengan memakai verba, baik transitif maupun intransitif, sebagai sebutan kalimat. Pada kedua makna ini, pokok kalimatnya dapat menyatakan subjek (S) jamak maupun subjek (S) tunggal. Sebagai subjek (S) jamak, pokok kalimatnya dapat terdiri dari sekelompok orang atau benda yang ikut serta dalam tindakan. Sebagai contoh.
(24) Saudara berhak membunuh saya, kita bermusuhan.
(25) Saya dan Dar berpandang-pandangan, sesudah perempuan itu masuk ke dalam.
(26) Apalagi mereka berdua tak asing-mengasing lagi.
Untuk ketiga contoh di atas, dapat dilihat bahwa pokok kalimatnya menyatakan subjek (S) jamak. Sedangkan sebagai subjek (S) tunggal, pokok kalimatnya merupakan salah satu dari subjek (S) jamak yang lebih penting bagi kalimat ini.
Dari beberapa teori di atas, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori yang dikemukakan oleh Djajsudarma. Hal itu dikarenakan bahwa dari beberapa makna yang dikemukakan olehnya, ada makna yang sesuai dengan sampel data yang ditemukan. Namun, tidak seluruh jenis makna yang dikemukakannya sesuai dengan sampel data yang ada. Untuk itu, peneliti juga menggunakan teori lain tentang makna, yaitu teori dari Alieva, dkk, yang menyebutkan tentang makna kebersamaan. Selain itu, ada sebagian sampel data yang tidak sesuai dengan kedua teori tersebut, maka peneliti memberikan istilah sendiri untuk sampel data tersebut sebagai jenis makna.

E. Fungsi Deiksis Pronomina Persona
Dalam tataran tata bahasa atau gramatika, diketengahkan adanya istilah semantik sintaktikal, yang mana apabila sasaran penyelidikannya tertumpu pada hal-hal yang berkaitan dengan sintaksis. Ini dilakukan mengingat bahwa dalam sintaksis itu ada pula tataran bawahan yang disebut fungsi gramatikal, kategori gramatikal, dan peran gramatikal. Hal ini dapat dilihat pada bagan berikut.

Posted in | 0 komentar

Semantik

Pengenalan

1. Kata merupakan unit ujaran yang bebas dan mempunyai makna.
2. Dalam bahasa, kata dapat mengungkapkan fikiran, perasaan, pendapat, emosi, perlakuan dan keperibadian manusia.
3. Perbendaharaan kata penting untuk menjalin komunikasi yang sempurna. Semakin banyak kata dikuasai oleh seseorang, semakin banyak idea atau gagasan yang mampu diungkapkannya.

Makna Kata

1. Dalam kajian bahasa, bidang yang mengkaji dan menganalisis makna kata dalam ayat dikenal sebagai semantik.
2. Kajian tentang makna kata boleh dibahagikan kepada aspek-aspek yang berikut :

(a) makna denotasi dan makna konotasi
(b) makna dalam konteks
(c) hubungan makna dengan kebudayaan
(d) perubahan makna
(e) bentuk-bentuk makna daripada hubungan semantik

3. Makna denotasi ialah makna kata yang tersurat.

Contoh : ibu ayam : ayam betina yang mempunyai anak
Kaki ayam : kaki pada ayam.

4. Istilah lain untuk makna denotasi ialah makna kamus, dan makna rujukan.
5. Makna konotasi ialah makna tambahan atau makna tersirat kepada makna denotasi.

Contoh : ibu ayam : orang yang kerjanya mencari pelanggan untuk pelacur-pelacur.
Kaki ayam : kaki yang tidak berkasut.

6. Makna konotasi juga disebut makna emotif atau makna evaluatif.
7. Terdapat kata-kata seerti (sinonim) yang mempunyai makna denotasi yang sama tetapi makna konotasi yang berbeza.

Contoh : Kata mati dan meninggal dunia membawa maksud denotasi perstiwa jiwa seseorang meninggal jasadnya tetapi dari segi makna konotasi, penggunaan perkataan meninggal dunia adalah lebih sopan daripada penggunaan perkataan mati.






Makna Dalam Konteks

Makna sesuatu perkataan yang diujarkan boleh diketahui dengan melihat konteks penggunaan perkataan itu.

Contoh : Tapak kasut sudah haus. (haus bermakna berkurangan tebalnya kerana banyak dipakai)
Saya berasa haus kerana cuaca panas. (haus bermaksud berasa kering tekak atau dahaga).

Kanak-kanak itu haus akan kasih sayang ibunya (haus bermaksud sangat ingin kepada).

Hubungan Makna dengan Kebudayaan

Penggunaan dan pemilihan perkataan juga berhubung dengan kebudayaan sesuatu masyarakat.

Contoh : aku : digunakan dalam hubungan yang rapat untuk menimbulkan kemesraan.
Saya : digunakan dalam hubungan biasa.
Patik : digunakan oleh orang biasa untuk merendah diri apabila berhubung dengan golongan raja.
Beta : khas untuk raja merujuk dirinya.

Perubahan Makna

Makna sesuatu perkataan itu akan berubah mengikut perubahan masa, teknologi dan hubungan sosial dalam masyarakat.

Contoh : menternak (makna lama : memelihara binatang darat)
(makna baru: termasuk memelihara hidupan air seperti ikan dan
udang)

taman (makna lama : tempat indah dengan tumbuhan bunga)
(makna baru : termasuk kawasan perumahan dan perindustrian)

rawat (makna lama : menjaga orang sakit)
(makna baru : termasuk memulihkan pokok sakit, barang-barang lama,
barang rosak, air kumbahan)

menyeberang (makna lama : dulu hanya untuk menyeberang sungai)
(makna baru : termasuk menyeberang jalan, dll)

belayar ( makna lama : pada masa dahulu semua kapal menggunakan layar)
(makna baru : tidak ada layar pun disebut belayar)



khalwat (makna lama : menyendiri dalam masjid/tempat suci untuk beribadat
kepada Allah)

(makna baru : berdua-duaan antara lelaki dan perempuan yang
bukan muhrim di tempat sunyi untuk tujuan maksiat).

Tuan (makna lama : untuk lelaki dan perempuan. Contoh Tuan kadi dan
Tuan puteri)

(makna baru : lelaki sahaja)


Bentuk-Bentuk Makna daripada Hubungan Semantik

1. Bentuk-bentuk makna yang timbul daripada hubungan semantik ialah sinonim, antonim, hiponim, meronim, polisim, homonim, homofon, dan homograf.
2. Sinonim merupakan kata yang mempunyai makna yang sama atau hampir sama.

Contoh : cantik=indah
Hangat = panas
Percaya = yakin

3. Antonim merujuk kepada perkataan-perkataan yang mempunyai makna yang berlawanan.

Contoh : langit lawannya bumi
Panas lawannya sejuk
Kuat lawannya lemah

4. Hiponim ialah kata yang mempunyai lingkungan dalam strukturmakna.

Contoh : perabot (mempunyai makna umum)
Kerusi, meja, almari, katil, sofa (mempunyai makna khusus)

Jadi kata perabot merupakan kata hiponim yang melingkungi benda-benda seperti kerusi, meja, almari, katil dan sofa.

5. Meronim ialah perkataan-perkataan yang menunjukkan hubungan sebahagian daripada.

Contoh : atap, dinding, lantai, tingkap, dapur ialah sebahagian daripada rumah dan oleh itu perkataan tersebut menjadi meronim kepada rumah.






6. Polisim ialah satu perkataan yang mempunyai makna yang banyak atau satu set makna.

Contoh : kata mentah mempunyai set makna yang berikut :

Masih muda (untuk buah-buahan)
Tidak masak (masakan)
Belum masak (makanan)
Belum diproses (bahan galian dan lain-lain)
Belum sempurna akal atau fikiran atau belum matang (untuk orang)

7. Homonim ialah dua kata atau lebih yang memiliki bentuk yang sama, sama ada dari segi sebutan, ejaan, atau kedua-duanya tetapi mempunyai makna yang berbeza.

Contoh : daki : kotoran yang melekat pada badan
Daki : memanjat (gunung, bukit)

8. Homonim terbahagi kepada tiga jenis iaitu :

Homofon : kata-kata yang sama sebutannya tetapi berbeza dari segi ejaan dan makna. Contoh : masa dan (media) massa.

Homograf : kata-kata yang sama ejaannya dan mempunyai sebutan yang berbeza. Contoh : semak (belukar), semak (meneliti dan memeriksa semula)
Perang (war), perang (warna blonde)









Semantik

Pengenalan

1. Kata merupakan unit ujaran yang bebas dan mempunyai makna.
2. Dalam bahasa, kata dapat mengungkapkan fikiran, perasaan, pendapat, emosi, perlakuan dan keperibadian manusia.
3. Perbendaharaan kata penting untuk menjalin komunikasi yang sempurna. Semakin banyak kata dikuasai oleh seseorang, semakin banyak idea atau gagasan yang mampu diungkapkannya.

Makna Kata

1. Dalam kajian bahasa, bidang yang mengkaji dan menganalisis makna kata dalam ayat dikenal sebagai semantik.
2. Kajian tentang makna kata boleh dibahagikan kepada aspek-aspek yang berikut :

(a) makna denotasi dan makna konotasi
(b) makna dalam konteks
(c) hubungan makna dengan kebudayaan
(d) perubahan makna
(e) bentuk-bentuk makna daripada hubungan semantik

3. Makna denotasi ialah makna kata yang tersurat.

Contoh : ibu ayam : ayam betina yang mempunyai anak
Kaki ayam : kaki pada ayam.

4. Istilah lain untuk makna denotasi ialah makna kamus, dan makna rujukan.
5. Makna konotasi ialah makna tambahan atau makna tersirat kepada makna denotasi.

Contoh : ibu ayam : orang yang kerjanya mencari pelanggan untuk pelacur-pelacur.
Kaki ayam : kaki yang tidak berkasut.

6. Makna konotasi juga disebut makna emotif atau makna evaluatif.
7. Terdapat kata-kata seerti (sinonim) yang mempunyai makna denotasi yang sama tetapi makna konotasi yang berbeza.

Contoh : Kata mati dan meninggal dunia membawa maksud denotasi perstiwa jiwa seseorang meninggal jasadnya tetapi dari segi makna konotasi, penggunaan perkataan meninggal dunia adalah lebih sopan daripada penggunaan perkataan mati.






Makna Dalam Konteks

Makna sesuatu perkataan yang diujarkan boleh diketahui dengan melihat konteks penggunaan perkataan itu.

Contoh : Tapak kasut sudah haus. (haus bermakna berkurangan tebalnya kerana banyak dipakai)
Saya berasa haus kerana cuaca panas. (haus bermaksud berasa kering tekak atau dahaga).

Kanak-kanak itu haus akan kasih sayang ibunya (haus bermaksud sangat ingin kepada).

Hubungan Makna dengan Kebudayaan

Penggunaan dan pemilihan perkataan juga berhubung dengan kebudayaan sesuatu masyarakat.

Contoh : aku : digunakan dalam hubungan yang rapat untuk menimbulkan kemesraan.
Saya : digunakan dalam hubungan biasa.
Patik : digunakan oleh orang biasa untuk merendah diri apabila berhubung dengan golongan raja.
Beta : khas untuk raja merujuk dirinya.

Perubahan Makna

Makna sesuatu perkataan itu akan berubah mengikut perubahan masa, teknologi dan hubungan sosial dalam masyarakat.

Contoh : menternak (makna lama : memelihara binatang darat)
(makna baru: termasuk memelihara hidupan air seperti ikan dan
udang)

taman (makna lama : tempat indah dengan tumbuhan bunga)
(makna baru : termasuk kawasan perumahan dan perindustrian)

rawat (makna lama : menjaga orang sakit)
(makna baru : termasuk memulihkan pokok sakit, barang-barang lama,
barang rosak, air kumbahan)

menyeberang (makna lama : dulu hanya untuk menyeberang sungai)
(makna baru : termasuk menyeberang jalan, dll)

belayar ( makna lama : pada masa dahulu semua kapal menggunakan layar)
(makna baru : tidak ada layar pun disebut belayar)



khalwat (makna lama : menyendiri dalam masjid/tempat suci untuk beribadat
kepada Allah)

(makna baru : berdua-duaan antara lelaki dan perempuan yang
bukan muhrim di tempat sunyi untuk tujuan maksiat).

Tuan (makna lama : untuk lelaki dan perempuan. Contoh Tuan kadi dan
Tuan puteri)

(makna baru : lelaki sahaja)


Bentuk-Bentuk Makna daripada Hubungan Semantik

1. Bentuk-bentuk makna yang timbul daripada hubungan semantik ialah sinonim, antonim, hiponim, meronim, polisim, homonim, homofon, dan homograf.
2. Sinonim merupakan kata yang mempunyai makna yang sama atau hampir sama.

Contoh : cantik=indah
Hangat = panas
Percaya = yakin

3. Antonim merujuk kepada perkataan-perkataan yang mempunyai makna yang berlawanan.

Contoh : langit lawannya bumi
Panas lawannya sejuk
Kuat lawannya lemah

4. Hiponim ialah kata yang mempunyai lingkungan dalam strukturmakna.

Contoh : perabot (mempunyai makna umum)
Kerusi, meja, almari, katil, sofa (mempunyai makna khusus)

Jadi kata perabot merupakan kata hiponim yang melingkungi benda-benda seperti kerusi, meja, almari, katil dan sofa.

5. Meronim ialah perkataan-perkataan yang menunjukkan hubungan sebahagian daripada.

Contoh : atap, dinding, lantai, tingkap, dapur ialah sebahagian daripada rumah dan oleh itu perkataan tersebut menjadi meronim kepada rumah.






6. Polisim ialah satu perkataan yang mempunyai makna yang banyak atau satu set makna.

Contoh : kata mentah mempunyai set makna yang berikut :

Masih muda (untuk buah-buahan)
Tidak masak (masakan)
Belum masak (makanan)
Belum diproses (bahan galian dan lain-lain)
Belum sempurna akal atau fikiran atau belum matang (untuk orang)

7. Homonim ialah dua kata atau lebih yang memiliki bentuk yang sama, sama ada dari segi sebutan, ejaan, atau kedua-duanya tetapi mempunyai makna yang berbeza.

Contoh : daki : kotoran yang melekat pada badan
Daki : memanjat (gunung, bukit)

8. Homonim terbahagi kepada tiga jenis iaitu :

Homofon : kata-kata yang sama sebutannya tetapi berbeza dari segi ejaan dan makna. Contoh : masa dan (media) massa.

Homograf : kata-kata yang sama ejaannya dan mempunyai sebutan yang berbeza. Contoh : semak (belukar), semak (meneliti dan memeriksa semula)
Perang (war), perang (warna blonde)

Posted in | 0 komentar

Hubungan Teori Sastra dengan Kritik Sastra dan Sejarah Sastra

Pada hakikatnya, teori sastra membahas secara rinci aspek-aspek yang terdapat di
dalam karya sastra, baik konvensi bahasa yang meliputi makna, gaya, struktur, pilihan
kata, maupun konvensi sastra yang meliputi tema, tokoh, penokohan, alur, latar, dan
lainnya yang membangun keutuhan sebuah karya sastra. Di sisi lain, kritik sastra
merupakan ilmu sastra yang mengkaji, menelaah, mengulas, memberi pertimbangan,
serta memberikan penilaian tentang keunggulan dan kelemahan atau kekurangan karya
sastra. Sasaran kerja kritikus sastra adalah penulis karya sastra dan sekaligus
pembaca karya sastra. Untuk memberikan pertimbangan atas karya sastra kritikus
sastra bekerja sesuai dengan konvensi bahasa dan konvensi sastra yang melingkupi
karya sastra.
Demikian juga terjadi hubungan antara teori sastra dengan sejarah sastra. Sejarah
sastra adalah bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari
waktu ke waktu, periode ke periode sebagai bagian dari pemahaman terhadap budaya
bangsa.
Perkembangan sejarah sastra suatu bangsa, suatu daerah, suatu kebudayaan,
diperoleh dari penelitian karya sastra yang dihasilkan para peneliti sastra yang
menunjukkan terjadinya perbedaan-perbedaan atau persamaan-persamaan karya
sastra pada periode-periode tertentu.
Secara keseluruhan dalam pengkajian karya sastra, antara teori sastra, sejarah sastra
dan kritik sastra terjalin keterkaitan.

Posted in | 0 komentar

Strukturalisme Genetik Goldmann

Pendahuluan
Strukturalisme genetik ditemukan oleh Lucien Goldmann, seorang filsuf dan sosiolog Rumania-Perancis. Teori ini dikemukakannya pada tahun 1956 dengan terbitnya buku The Hidden God: a Study of Tragic Vision in the Pensees of Pascal and the tragedies of Racine. Teori dan pendekatan yang dimunculkannya ini dikembangkan sebagai sintesis atas pemikiran Jean Piaget, Geogre Lukacs, dan Karl Marx. Menurut Faruk (2003: 12) Goldmann percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Artinya, ia tidak berdiri sendiri, melainkan banyak hal yang menyokongnya sehingga ia menjadi satu bangunan yang otonom. Akan tetapi, Goldmann tidak secara langsung menghubungkan antara teks sastra dengan struktur sosial yang menghasilkannya, melainkan mengaitkannya terlebih dahulu dengan kelas sosial dominan. Sebab, struktur itu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan merupakan produk dari sejarah yan terus berlangsung, proses strukturisasi dan destrukturisasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal teks sastra yang bersangkutan. Strukturalisme genetik mencoba mengkaitkan antara teks sastra, penulis, pembaca (dalam rangka komunikasi sastra), dan struktur sosial.
Ratna (2006: 122) mengatakan bahwa strukturalisme genetik memiliki implikasi yang lebih dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu-ilmu kemanusiaan pada umumnya. Sebuah struktur, bagi Goldmann, harus disempurnakan agar memiliki makna, di mana setiap gejala memiliki arti apabila dikaitkan dengan struktur yang lebih luas, demikian seterusnya hingga setiap unsur menopang totalitasnya.
Untuk menghasilkan sebuah totalitas, Goldmann menawarkan metode dialektik yang pada prinsipnya pengetahuan mengenai fakta-fakta kemanusiaan akan tetap abstrak apabila tidak mengintegrasikannya ke dlaam keseluruhan. Karena itu metode dialektik menegmbangkan dua pasangan konsep, yaitu, “keseluruhan-bagian” dan “pemehaman-penjelasan”. Metode dialektik sama dengan metode posifistik, keduanya sama-sama bermula dan berakhir pada karya sastra. Hanya saja pada metode positivistik tidak mempertimbangkan persoalan koherensi struktural, metode dialektika mempertimbangkannya.
Strukturalisme genetik ini merupakan gerakan penolakan strukturalisme murni, yang hanya menganalisis unsur-unsur intrinsik saja tanpa mengindahkan hal-hal di luar teks sastra itu sendiri. Gerakan ini juga menolak peranan bahasa sastra sebagai bahasa yang khas, bahasa sastra. (Ratna, 2006: 121).
Secara definitif, Ratna (2006: 123) menjelaskan lebih lanjut bahwa strukturalisme genetik adalah analisis struktur dengan memberikan perhatian terhadap asal-usul teks sastra. Meskipun demikian, sebagai teori yang sudah teruji validitasnya, strukturalisme genetic masih ditopang oleh beberapa konsep teori sosial lainnya; fakta kemanusiaan (Faruk, 1999: 12), simetri atau homologi, kelas-kelas social, subjek transindividual, dan pandangan dunia (Ratna, 2006: 123). Konsep-konsep inilah yang membawa strukturalisme genetik pada masa kejayaannya sekitar tahun 1980 hingga 1990.

Struktur karya Sastra
Goldman mengemukakan dua pendapat mengenai karya sastra pada umumnya, yang pertama bahwa karya sastra merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Sedangkan yang kedua adalah bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner.
Dari dua pendapatnya itu, Goldmann mempunyai konsep struktur yang bersifat tematik, yang memusatkan perhatian pada relasi antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada disekitarnya. Dengan demikian, Goldmann membdedakan tekjs sastra dengan filsafat yang mengungkapkan pandangan dunia secara konseptual dan sosilogi yang mengekspresikan pandangan dunia secara empirisitas.
Sifat tematik dari konsep struktur Goldmann itu terlihat pula pada konsepnya mengenai novel. Berkaitan dengan pentinganya pendekatan strukturalisme genetik, Goldmann mengkaji dua hal yang dianggpanya saling bersangkutan, yakni cara meneliti novel (baca: teks sastra) itu sendiri dan hubungannya dengan sosio-budaya.
Mengenai novel itu sendiri, goldmann kemudian mendefinisikannya sebagai cerita tentang pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai otentik dalam dunia yang terdegradasi oleh seorang tokoh yang probematik. Yang dimaksud dengan nilai-nilai yang otentik adalah totalitas yang secara tersirat muncul dalam novel, nilai-nilai yang mengorganisasi sesuai dengan mode dunia sebagai totalitas. Yakni, nilai-nilai yang hanya ada dalam kesadaran penulis/pengarang dengan bentuk konseptual dan abstrak.

Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan merupakan hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami ilmu pengetahuan. Fakta kemanusiaan dalam Strukturalisme genetik dibagi kedalam dua bagian yaitu, fakta individual dan fakta sosial. Goldmann via Faruk (1999: 13) menganggap bahwa semua fakta kemanusiaan mempunyai struktur tertentu dan arti tertentu. Fakta-fakta manusia ini memiliki arti karena bersentuhan dnegan subjek kolektif ataui individual. Dengan kata lain, Fakta-fakta kemanusiaan ini merupakan hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungannya dengan dunia sekitar.
Dalam proses strukturasi dan akomodasi yang terus menerus suatu karya sastra sebagai fakta kemanusiaan, sebagai hasil aktivitas cultural manusia. Proses tersebut sekaligus merupakan genetic dari struktur karya sastra.

Homologi
Homologi menurut Ratna (2006: 122) diturunkan melalui organisme primitif yang sama dan disamakan dengan korespondensi, kualitas hubungan yang bersifat struktural. Homologi memiliki implikasi dengan hubungan bermakna antara struktur literer dengan struktur sosial. Nilai-nilai yang otentik yang terdapat pada strukturalisme genetik menganggap bahwa karya sastra sebagai homolagi antara struktur karya sastra dengan struktur lain yang berkaitan dengan sikap suatu kelas tertentu atau struktur mental dan pandangan dunia yang dimiliki oleh pengarang dan penyesuaiannya dengan struktur sosialnya.

Kelas-kelas Sosial
Kelas-kelas sosial adalah kolektivitas yang menciptakan gaya hidup tertentu, dengan struktur yang ketat dan koheren. Kelas merupakan salah satu indikator untuk membatasi kenyataan sosial yang dimaksudkan oleh pengarang untuk mempengaruhi bentuk, fungsi, makna, dan gaya suatu karya seni. Dikaitkan dengan strukturalisme genetik kelas yang dimaksudkan adalah kelas sosial pengarang karena karya sastra sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pengarang.
Dalam hubungan inilah, sesuai dengan pandangan Marxis, karya disebut sebagai wakil kelas sebab karya sastra dimanfaatkan untuk menyampaikan aspirasi kelompoknya. Dikaitkan dengan pengarang, latar belakang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu latar belakang karena afiliasi dan karena kelahiran.

Subjek Transindividual
Meskipun istilah transindividual diadopsi oleh Goldmann dari khazanah intelektual Marxis, khususnya Lukacs, Goldmann tidak menggunakan istilah kesadaran kolektif dengan pertimbangan istilah ini seolah-olah menonjolkan pikiran-pikiran kelompok. Sebaliknya, Konsep transindividual menurut Goldmann, menampilkan pikiran-pikiran individu tetapi dengan struktur mental kelompok.
Menurut Faruk, subjek transindividual adalah subjek yang mengatasi individu, yang di dalamnya individu hanya merupakan bagian. Subjek transindividual bukanlah kumpulan individu-individu yang berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan, satu kolektivitas.
Meskipun demikian, subjek transindividual merupakan konsep yang masih kabur. Subjek transindividual itu dapat kelompok kekerabatan, kelompok sekerja, kelompok teritorial, dan sebagainya. Goldmann menspesifikasikannya sebagai kelas sosial dalam pengertian Marxis sebab baginya kelompok itulah yang terbukti dalam sejarah sebagai keompok yang telah menciptakan suatu pandangan yang lengkap dan menyeluruh mengenai kehidupan dan yang telah mempengaruhi perkembangan sejarah umat manusia. Dalam strukturalisme genetik, subjek transindividual merupakan energi untuk membangun pandangan dunia.

Pandangan Dunia
Pandangan dunia memicu subjek untuk mengarang, dan dianggap sebagai salah satu ciri keberhasilan suatu karya. dalam rangka strukturalisme genetik, pandangan dunia berfungsi untuk menunjukkan kecenderungan kolektivitas tertentu. Melalui kualitas pandangan dunia inilah karya sastra menunjukkan nilai-nilainya, sekaligus memperoleh artinya bagi masyarakat.
Menurut Goldmann via Faruk (1999: 15) pandangan dunia merupakan istilah yang cocok bagi kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota kelompok sosial tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompk sosial yang lainnya. Masih menurut goldman pandangan dunia merupakan kesadaran kolektif yang dapat digunakan sebagai hipotesis kerja yang konseptual, suatu model, bagi pemahaman mengenai koherensi struktur teks sastra.
Pandangan dunia ini berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomi tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya. Pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba , transformasi mentalitas yang lama secara berlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama.

Penelitian dengan Metode Strukturalisme Genetik
Sapardi Djoko Damono memberikan ciri-ciri strukturalisme genetik sebagai suatu metode, yaitu:
1. Perhatiannya terhadap keutuhan dan totalitas: kaum strukturalis percaya bahwa yang menjadi dasar telaah strukturalisme genetik bukanlah bagian-bagian totalitas tetapi jaringan hubungan yang ada antara bagian-bagian itu, yang menyatukannya menjadi totalitas.
2. Strukturalisme genetik tidak menelaah struktur pada permukaannya, tetapi struktur yang ada di balik kenyataan. Kaum strukturalis berpandangan bahwa yang terlihat dan terdengar, misalnya, bukanlah struktur yang sebenarnya, tetapi hanya bukti adanya struktur.
3. Analisis yang dilakukan oleh kaum strukturalis menyangkut struktur yang sinkronis (bukan diakronis). Perhatian kaum strukturalis lebih difokuskan pada hubungan-hubungan yang ada pada suatu saat di suatu waktu, bukan dalam perjalanan waktu. Struktur sinkronis dibentuk oleh jaringan hubungan structural yang ada.
4. Strukturalisme genetik adalah metode pendekatan yang antikausal. Kaum strukturalis dalam analisisnya sama sekali tidak menggunakan sebab-akibat; mereka menggunakan hukum perubahan bentuk.

Langkah-langkah penelitian dengan metode strukturalisme genetik yang ditawarkan oleh Laurenson dan Swingewood yang disetujui oleh Goldman:
1. penelitian sastra itu dapat kita ikuti sendiri. Mula-mula diteliti strukturnya untuk membuktikan bagian-bagiannya sehingga terjadi keseluruhan yang padu dan holistik.
2. penghubungan dengan sosial budaya. Unsur-unsur kesatuan karya sastra yang dihubungkan dengan sosio budaya dan sejarahnya, kemudian dihubungkan dengan struktur mental yang dihubungkan dengan dunia pengarang.
3. untuk mencapai solusi atau kesimpulan digunakan metode induktif, yaitu metode pencarian kesimpulan dengan jalan melihat premis-premis yang sifatnya spesifik untuk selanjutnya mencari premis general.









Sumber:
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strkturalisme Genetik sampai Post-Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jabrohim (editor). 2001. Metodologi Penelitian Sastra .Yogyakarta: Hanindika.
Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Posted in | 0 komentar

FBS untuk masa depan

Tgl 31 Juni-2 Mei prodi d-3 bhs jepang unipdu akan mendapatkan kunjungan dari asesor ban-pt. mohon doa dan dukungannya agar status prodi jepang bisa mendapat yang terbaik

Posted in | 0 komentar

Informasi terbaru

LAC Unipdumempunyai buku baru di bidang linguistik dan penerjemahan...silahkan datang ke lAC setiap jam kerja 08.00 - 14.00

Posted in | 0 komentar